Top
Begin typing your search above and press return to search.

Menembus batas antarkan seratus anak menuju gerbang Sekolah Rakyat

Tak terbayangkan bagaimana harus berpeluh keringat karena dipaksa bersahabat dengan jilatan panas matahari di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama berhari-hari demi mencari anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk diantar menjadi siswa Sekolah Rakyat Berasrama.

Menembus batas antarkan seratus anak menuju gerbang Sekolah Rakyat
X
Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Elshinta.com - Tak terbayangkan bagaimana harus berpeluh keringat karena dipaksa bersahabat dengan jilatan panas matahari di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama berhari-hari demi mencari anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk diantar menjadi siswa Sekolah Rakyat Berasrama.

Bukan hanya tanah terjal yang menembus perbukitan kering bersuhu 30-33 derajat celcius yang harus diseberangi, bahkan tak jarang juga harus melintas pulau dengan laut bergelombang ganas khas dari Pulau Timor, agar dapat menemukan keberadaan anak-anak itu.

Semua tantangan ini adalah bagian dari perjuangan para tim penyaring calon siswa, sekolah rakyat dari Sentra Efata Kupang, Kabupaten Kupang, NTT.

Salah satunya adalah Yohanes, yang sabar menghadapi semuanya selama tiga bulan berturut-turut terhitung sejak April–Juni yang lalu.

“Sejak awal sudah kami duga kalau data tak akan pernah cukup, sehingga kami diperintahkan pimpinan turun langsung ke lapangan,” kata Yohanes dengan gaya bicaranya yang serupa penyiar radio itu.

Tim dari sentra yang dikelola Kementerian Sosial itu berhasil menghimpun sebanyak 267 nama dari 24 kecamatan di Kabupaten Kupang yang direkomendasikan untuk menjadi siswa sekolah rakyat tahap pertama di NTT.

Dari jumlah tersebut kuota yang disiapkan hanya sebanyak 100 orang anak, dan hingga akhir bulan Juni yang lalu, tim kecil ini berhasil merampungkan penyaringan siswa.

Untuk tim Yohanes sendiri, sedikitnya ada 83 orang anak yang berhasil mereka terima datanya dari pihak sekolah. Mulanya mereka dinilai sebagai anak dari keluarga yang kurang mampu dan paling membutuhkan bantuan demi melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah berikutnya.

Dia menyisir belasan sekolah dasar, kantor desa, hingga turun ke rumah-rumah di dusun terpencil dari Pulau Semau sampai ke wilayah Nekamese, yang jadi tanggung jawabnya, untuk memverifikasi kondisi anak yang direkomendasikan. Hal serupa juga dilakukan oleh belasan anggota tim penyaring calon siswa lainnya yang diamanahkan kepada mereka.

Namun, setelah melewati proses penyaringan panjang dan sinkronisasi dengan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), tersisa hanya lima orang anak yang memenuhi syarat, dan akhirnya lolos menjadi siswa Sekolah Rakyat, pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sementara ini menempati kawasan Sentra Efata Kupang di Naibonat, Kabupaten Kupang ini.

Yohanes dan timnya mendapati masih ada orang tua yang belum siap anaknya meninggalkan mereka untuk menempati asrama, dan tak sedikit pula yang dicoret dari daftar, setelah tim melihat langsung kondisi keluarganya yang berbeda dari data yang diterima.

"Mereka dicoret karena keluarganya mampu dibuktikan setelah orang tua mereka punya motor besar, dan oto (mobil), rumah mereka juga layak untuk ditempati," ucap pria berambut cepak dengan wajah yang nyaris gosong ini.

Meski sebagian besar bisa menerima tapi tetap saja ada wajah kecewa. Momen paling berat bagi Yohanes saat harus mengatakan ke pihak keluarga bahwa buah hati mereka tak memenuhi syarat untuk bersekolah di sekolah boarding gagasan Presiden Prabowo Subianto ini, yang sudah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat se-Kabupaten Kupang, karena fasilitas yang disediakan pemerintah mulai dari laptop, makan bergizi tiga kali sehari, belajar di laboratorium, asrama yang lengkap dengan ranjang dan bantal empuk tanpa pungutan biaya apapun.

Namun, dia menyakini lebih baik pahit di awal daripada mereka merampas hak anak lain yang jauh lebih membutuhkan.

Yohanes optimistis dan mulai membayangkan pagi pertama seratus anak yang menempati ranjang bertingkat, papan tulis putih yang kosong menunggu tulisan pertama, serta ruang kelas berlantai bersih yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Perjalanan panjang menjemput anak-anak memang sudah memasuki babak akhir. Proses renovasi sebanyak sembilan asrama, empat ruang belajar dan fasilitas penunjang lainnya termasuk mushala maupun gereja di Sekolah Rakyat Kupang itu sudah hampir rampung dan siap dimanfaatkan oleh 100 orang siswa pada tahun ajaran baru 2025/2026, yang dimulai Senin, 14 Juli.

Seluruh siswa dijadwalkan sudah menempati asrama pada Sabtu, 12 Juli. Mereka akan melakukan cek kesehatan kedua dan melaksanakan rangkaian orientasi atau pengenalan antarsiswa, kepala sekolah, guru dan segenap wali asrama hingga lingkungan sekitarnya.

Namun, tugas Yohanes belum selesai saat anak-anak masuk asrama. Justru di sinilah awal pekerjaan terberat baginya, karena ia juga ditunjuk sebagai wali asrama Sekolah Rakyat Kupang.

Yohanes dituntut untuk lebih dekat dengan menaruh telinga dan hatinya kepada setiap siswa, bahkan orang tua mereka, karena pendidikan berasrama masih tergolong baru di kalangan masyarakat setempat.

Semangat dan rasa percaya diri anak-anak berusia 13-15 tahun ini harus benar-benar dijaga sehingga mental mereka kuat dan menjadi setara dengan anak di kota besar, dengan membuang stigma bahwa mereka adalah penerima bantuan.

Untuk itu, ia harus peka mendengar suara lugu seorang anak “pak, saya takut nanti nggak punya teman, pak saya tidak bisa menggunakan laptop.” Atau meyakinkan para ibu kalau anak mereka terjamin, sehingga buah hati mereka fokus menjalani kegiatan belajar-mengajar selama tiga tahun ke depan bersama 11 orang guru Sekolah Rakyat yang kompetensinya telah teruji.

Mimpi mereka besar, ada yang mau menjadi pemain tim nasional sepak bola Indonesia, prajurit TNI Angkatan Darat, perawat, hingga sebagai pendeta dan suster untuk melayani umat sebagaimana cita-cita Irene Patrisia siswa dari Desa Oemasi Kecamatan Nekamese, dan Kristo Jenewery, dari Desa Pariti Kecamatan Sulamu.

Untuk itu, walau dihadapkan banyak tantangan, tapi bagi Yohanes dan tim Sentra Efata, langkah pertama selalu yang paling berharga karena di balik setiap angka, ada nama dan di balik nama ada mimpi. Maka mimpi itulah yang mereka jemput meski harus menyeberang laut, menapaki bukit, dan gempuran debu ditegah terik panas matahari seolah membakar kulit.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire