Pengamat harap pemerintah buka kembali ruang negosiasi soal tarif AS
Pengamat hubungan internasional dan investasi Zenzia Sianica Ihza mengharapkan Pemerintah Indonesia membuka kembali ruang negosiasi soal tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat (AS) agar bisa diturunkan lagi.

Elshinta.com - Pengamat hubungan internasional dan investasi Zenzia Sianica Ihza mengharapkan Pemerintah Indonesia membuka kembali ruang negosiasi soal tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat (AS) agar bisa diturunkan lagi.
"Kita memberi terlalu banyak. Sementara, tarif 19 persen masih tergolong tinggi dan membebani pelaku ekspor kita. Harusnya negosiasi ulang. Jangan puas dengan angka 19 persen, karena itu belum mengembalikan posisi kita seperti sebelum badai tarif diberlakukan," ujar Zenzia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, jika dihitung secara keseluruhan, maka produk Indonesia tetap dikenai beban tarif hampir 29 persen, karena tarif dasar 10 persen yang berlaku otomatis.
"Jadi, sebenarnya bukan hanya 19 persen, tetapi 19 ditambah 10. Itu tetap tinggi dan tidak fair," katanya.
Ia menyebut Indonesia berada dalam posisi yang sebenarnya punya pengaruh kuat.
Permintaan Trump agar Indonesia membeli 50 jet Boeing dan investasi energi senilai 15 miliar dolar AS menunjukkan bahwa Washington juga membutuhkan Jakarta dalam konteks ekonomi dan geopolitik.
"Kalau kita setuju membeli pesawat dan investasi energi, kenapa tidak meminta tarif turun ke angka yang lebih wajar, misalnya di bawah 10 persen? Negosiasi itu harus dua arah, bukan hanya menerima dikte," ujarnya.
Zenzia menyebut dalam merespons tekanan tarif dari Trump, beberapa negara justru mampu menunjukkan posisi tawar yang lebih kokoh. China, misalnya, secara terbuka melakukan perlawanan dengan tarif balasan.
Sementara, Vietnam memilih jalan diplomasi yang akomodatif, tetapi tetap menjaga kepentingan domestiknya.
"Vietnam bisa menurunkan tensi sambil menjaga keuntungan, bahkan justru mereka mampu menarik relokasi industri dari China. Kita seharusnya belajar dari itu," ucapnya.
Kebijakan tarif Trump merupakan lanjutan dari pendekatan ekonomi America First yang diluncurkan sejak masa kampanye 2016.
Di bawah semangat proteksionisme, Trump melihat tarif sebagai alat tawar utama untuk meraih kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan bagi AS.
Tarif menjadi bentuk tekanan atau dalam istilah hubungan internasional, credible threat, yang secara rasional dirancang untuk menghasilkan respons kompromistis dari negara mitra.
"Sayangnya, Indonesia terlalu cepat menunjukkan sikap akomodatif tanpa memperjuangkan pengimbangan yang setara," tutur Zenzia.
Respons ideal, menurut Zenzia, bukanlah menolak keras atau bersikap pasrah, yang dibutuhkan Indonesia adalah diplomasi rasional dan strategi negosiasi berimbang.
Dengan pendekatan tersebut, kompromi masih bisa dicapai tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
"Kita harus cermat. Tidak perlu frontal seperti China, tetapi juga jangan lunak. Negosiasi perlu berpegang pada prinsip saling menguntungkan," katanya.
Menurut dia, penurunan tarif Trump dari 32 menjadi 19 persen memang terlihat sebagai kabar baik, namun jika dibaca dalam konteks keseluruhan, terutama dengan komitmen besar pembelian Boeing dan investasi energi di AS, justru menunjukkan bahwa Indonesia memberikan terlalu banyak untuk hasil yang belum sepadan.
Ia juga mengatakan jika tarif bea masuk naik seperti ini, selain akan menurunkan daya saing produk negara yang terdampak, sekaligus punya efek bagi konsumen akhir, yaitu warga AS sendiri. Akibat kebijakan tarif itu, harga barang impor dari Indonesia yang masuk ke AS mengalami kenaikan 19 sampai 29 persen.
"Dalam jangka panjang ini akan menjadi bumerang bagi AS karena dunia usaha akan membebankan kenaikan tarif ini ke konsumen dalam negeri AS. Ini jelas akan punya dampak bagi mereka," kata Zenzia.