Kader PPP sebut Muswilub tanpa sidang dinilai keliru
Pembatalan Musyawarah Wilayah Luar Biasa (Muswilub) yang dilakukan Mahkamah Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak melalui mekanisme persidangan sebagaimana seharusnya, melainkan hanya berdasarkan sebuah 'legal opinion' dinilai keliru.

Elshinta.com - Pembatalan Musyawarah Wilayah Luar Biasa (Muswilub) yang dilakukan Mahkamah Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak melalui mekanisme persidangan sebagaimana seharusnya, melainkan hanya berdasarkan sebuah 'legal opinion' dinilai keliru.
Hal itu disampaikan Kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Rahmat Hidayat di Jakarta, Selasa (22/7), seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Heru Lianto.
Rahmat, yang juga pengamat hukum mengatakan bahwa Mahkamah Partai bukan konsultan, tetapi lembaga yudikatif. Dalam sistem hukum Indonesia hal tersebut telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Di mana di situ dikatakam bahwa Mahkamah Partai adalah organ penyelesaian sengketa internal partai yang bersifat yudikatif.
Artinya, Mahkamah Partai bertindak layaknya pengadilan internal yang harus menyelesaikan konflik melalui proses yang adil, terbuka, dan berdasarkan pembuktian dari para pihak yang bersengketa.
Namun dalam kasus pembatalan Muswilub PPP ini, Mahkamah Partai justru melewati seluruh prosedur tersebut. Tidak ada pendaftaran sengketa resmi, tidak ada pemanggilan para pihak, tidak ada pemeriksaan alat bukti, dan tidak ada persidangan.
"Yang terjadi hanyalah keluarnya sebuah legal opinion, seolah-olah itu adalah fatwa sakti yang mampu membatalkan keputusan Muswilub," ujarnya.
Padahal, kata Rahmat, legal opinion secara definisi hanyalah pendapat hukum yang bersifat non-mengikat dan tidak memiliki kekuatan eksekusi.
"Maka, menjadikan opini hukum tersebut sebagai dasar pembatalan Muswilub adalah kekeliruan fatal secara prinsipil," jelasnya.
Baginya, ini menabrak prinsip audi et alteram partem. Dalam hukum modern, termasuk dalam etika kelembagaan partai, berlaku asas ini. Yakni prinsip bahwa kedua pihak dalam sengketa harus diberi kesempatan untuk didengar.
Ini adalah prinsip paling mendasar dalam proses peradilan yang adil dan berimbang. Dengan menghindari proses persidangan, dia menilai, Mahkamah Partai telah mengingkari prinsip ini.
Mereka menutup ruang pembelaan bagi pihak yang menyelenggarakan Muswilub, dan sebaliknya memberikan kemenangan sepihak tanpa uji bukti. "Ini merupakan preseden buruk bagi demokrasi internal partai," sebutnya.
Rahmat menilai, tindakan ini menyesatkan dan merusak kredibilitas lembaga. Penggunaan legal opinion untuk membatalkan forum tertinggi wilayah seperti Muswilub bukan saja melanggar prosedur hukum, tetapi juga menyesatkan pemahaman publik dan kader.
Tindakan ini berpotensi menciptakan ilusi seolah-olah keputusan telah sah, padahal justru sebaliknya: cacat formil dan materil. Lebih jauh lagi, praktik ini juga meruntuhkan legitimasi Mahkamah Partai sebagai penjaga keadilan internal.
Bila Mahkamah Partai berubah fungsi menjadi lembaga politis yang mengeluarkan keputusan berdasarkan tekanan elite tertentu, maka hancurlah kepercayaan kader terhadap struktur hukum internal partai.
Dia berharap, PPP sebagai partai warisan ulama dan tokoh bangsa tidak boleh membiarkan lembaga yudikatif internalnya menjadi alat politik kekuasaan semata.
Keputusan Mahkamah Partai harus diambil melalui proses hukum yang benar, dengan sidang terbuka, pemeriksaan bukti, dan putusan final berdasarkan fakta.
Diingatkan Rahmat, jika langkah pembatalan Muswilub ini tetap dipaksakan tanpa proses hukum yang sah, maka terbuka ruang gugatan ke Pengadilan Negeri, atau bahkan ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review terhadap tindakan internal yang melanggar hukum dan AD/ART partai.
Karena, kata dia, keadilan tidak boleh ditukar dengan kenyamanan politik sesaat. Mahkamah Partai wajib kembali ke marwahnya sebagai lembaga penegak keadilan internal yang taat hukum, bukan pembuat opini semu.
"Karena bila hukum dikalahkan oleh opini, maka hancurlah pilar demokrasi dalam tubuh partai," pungkasnya.