Top
Begin typing your search above and press return to search.

Datang ke Balai Kota Jakarta, ini tuntutan 30 Ketua PPPSRS

Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) berjumlah 30 orang dari berbagai wilayah Jakarta mendatangi Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (11/8/2025). Mereka menuntut Gubernur Jakarta Pramono Anung menuntaskan persoalan tarif air bersih di rumah susun.

Datang ke Balai Kota Jakarta, ini tuntutan 30 Ketua PPPSRS
X
Massa datangi Balai Kota Jakarta, Senin (11/8/2025). Foto: Rizky Rian Saputra

Elshinta.com - Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) berjumlah 30 orang dari berbagai wilayah Jakarta mendatangi Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (11/8/2025). Mereka menuntut Gubernur Jakarta Pramono Anung menuntaskan persoalan tarif air bersih di rumah susun.

Ketua Umum P3RSI, Adjit Lauhatta, mengungkapkan bahwa janji pertemuan telah disampaikan Staf Khusus Gubernur, Wisnu P., saat mediasi aksi unjuk rasa besar pada 21 Juli lalu. Namun, hingga kini janji tersebut belum terealisasi.

“Saat mediasi Unjuk Rasa Akbar ribuan Warga Rumah Susun, 21 Juli 2025 di Balai Kota, Pak Wisnu dengan yakin mengatakan bisa mempertemukan kami dengan Gubernur. Katanya, (waktu itu) Gubernur sangat sibuk sehingga belum bisa bertemu,” kata Adjit Lauhatta.

Adjit menilai pascapertemuan tersebut, komunikasi menjadi sulit. Bahkan, Wisnu disebut ikut beralasan sibuk. “Maaf Pak, kegiatan padet dengan segala permasalah DKI Jakarta sebagai ibu kota dan permasalahan,” demikian pesan singkat Wisnu yang dibacakan Adjit.

Menurutnya, hal ini membuat warga merasa Gubernur tidak menganggap penting persoalan tarif air yang mereka hadapi. “Kami merasa Bapak Gubernur tidak menganggap penting masalah yang dihadapi puluhan ribu warga rumah susun di Jakarta terhadap ketidakadilan penggolongan pelanggan air PAM Jaya,” tegasnya.

Adjit menuturkan, permintaan mereka hanya ingin bertemu dan menyampaikan keberatan terkait penggolongan pelanggan air bersih yang dianggap tidak adil. Saat ini, rusun dikategorikan sebagai pelanggan Kelompok III, setara pusat bisnis dan industri, padahal fungsi utamanya adalah hunian.

“Kami merasa persoalan ini berlarut-larut, biar ada keputusan yang pasti, warga rumah susun berencana melakukan gugatan terhadap persoalan ini. Kami sudah berkonsultasi dengan kuasa hukum. Paling lambat akhir bulan ini akan didaftarkan,” jelasnya.

Keluhan serupa datang dari Ketua PPPSRS Kalibata City, Musdalifah Pangka, yang menyoroti beban tarif bagi warga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di rusunami subsidi. “Warga MBR harus bayar Rp12.500 per meter kubik, padahal seharusnya hanya Rp7.500. Ini jelas keliru,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan janji kampanye pasangan Pramono–Rano. “Kalau tarif air saja tidak adil, bagaimana bisa bicara kesejahteraan? Saya sangat kecewa Gubernur masih tidak mau berkomunikasi dengan warga rusunami. Jelas-jelas program Pemerintah yang ingin menyediakan tempat tinggal yang layak huni,” ungkapnya.

Ketua PPPSRS Royal Mediterania Garden Residences, Yohannes, menambahkan keberatan serupa. Ia merujuk pada Pergub DKI Jakarta No. 37 Tahun 2024 yang menyebut Kelompok II sebagai kategori pelanggan rumah tangga dengan kebutuhan dasar air minum. “Kelompok III itu untuk mal, pabrik, dan pelabuhan. Kami bukan itu. Kami tinggal di rusun, bukan menjalankan bisnis,” tegasnya.

Mereka mendesak Gubernur meninjau ulang kebijakan penggolongan pelanggan air PAM Jaya, dan mengingatkan fungsi sosial BUMD tersebut. “Sebagai BUMD, PAM Jaya harus tetap menjalankan fungsi sosialnya. Jangan korbankan warga MBR demi keuntungan,” tutup Yohannes.

Sebelumnya, pernyataan Gubernur yang menyebut tarif air Jakarta “paling murah” dibanding kota lain menuai kritik. Data P3RSI menunjukkan tarif di Bogor dan Bekasi justru lebih rendah, dengan kategori pelanggan yang lebih sederhana: rumah tangga, industri, dan sosial, tanpa pembedaan rumah susun dan rumah tapak.

Praktisi hukum rumah susun, Erlangga Kusuma, mengingatkan pejabat publik untuk berbicara berdasarkan data. “Polemik ini bukan cuma soal tarif, tapi soal ketidakadilan sistemik, mulai dari monopoli PAM Jaya hingga larangan air tanah yang membuat warga kehilangan pilihan,” tegasnya.

Pengamat kebijakan publik, Sujoko, juga menilai klasifikasi pelanggan berdasarkan IMB sebagai kekeliruan logis. “Yang sah itu sertifikat dan pertelaan setelah bangunan selesai. IMB itu ibarat akta lahir yang belum ada namanya,” pungkasnya.

Penulis: Rizky Rian Saputra/Ter

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire