Di SRMA 29 Jayapura, Sergio asal Serui merancang masa depan
Foto : Humas Kemensos RI
Siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 29 Jayapura, Papua, Sergio Libert Rawai tampak serius menatap gunung yang menjulang di arah timur sekolahnya. Dari jendela kelas X C di lantai dua, ia sesekali memandang keluar sambil mengenang kampung halamannya di Ambaidiru, Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen.
“Gunung itu mirip gunung Rawai di rumah,” ujarnya sambil menunjuk nama yang tercetak di dada seragamnya. “Rawai nama marga saya.”
Sudah lebih dari lima bulan Sergio tinggal di asrama SRMA 29 Jayapura yang berada di lingkungan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Jayapura. Jarak kampung halamannya mencapai sekitar 584 kilometer dari Jayapura. “Naik kapal berangkat pagi sampai pagi lagi,” tuturnya saat menceritakan perjalanan dari Serui menuju Jayapura.
Perjalanan laut dari Jayapura ke Serui memakan waktu sekitar 29 jam 20 menit, dilanjutkan perjalanan darat sekitar tiga jam menuju Kampung Ambaidiru. Jarak tersebut membuat Sergio belum sempat pulang sejak mulai bersekolah di SRMA 29 Jayapura.
Kehidupan Sergio berubah ketika pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kemensos datang ke rumahnya dan menawarkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Rakyat. Program berasrama dengan pembiayaan penuh dari negara itu membuka jalan bagi Sergio yang sempat terancam tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. “Tete tidak setuju lanjut sekolah karena tidak ada biaya, tapi mungkin ada rezeki untuk saya,” katanya.
Sejak kecil, Sergio tinggal bersama kakek dan neneknya setelah orang tuanya berpisah. Untuk mengurangi rasa sendiri, ia mengajak sahabatnya, Sepnat Karubaba, ikut mendaftar Sekolah Rakyat. “Saya ajak dia masuk, supaya ada teman bisa sama-sama masuk sini,” ucapnya.
Sebelum bersekolah di Jayapura, Sergio dan Sepnat terbiasa berjalan kaki menuju sekolah dan berburu di hutan untuk mendapatkan daging. “Kalau ingin makan daging kuskus berburu,” kata Sergio. Aktivitas itu sudah menjadi hal biasa di kampungnya. “Kalau mau seminggu di hutan bisa tangkap 20 ekor,” ujarnya.
Kini, kehidupan di asrama membuat Sergio lebih teratur. Ia mendapat perlengkapan sekolah dan makan terjamin setiap hari. “Di rumah tidur pakai tikar, di sini pakai kasur,” katanya. Ia juga tak perlu lagi berburu untuk menikmati daging. “Kalau di sini dagingnya beda, daging ayam, daging ikan,” ucapnya.
Melalui Sekolah Rakyat, Sergio mulai merancang masa depan. Ia bercita-cita menjadi pegawai PLN agar bisa membantu menerangi kampung halamannya. “Cita-cita PLN,” katanya singkat. Meski begitu, kerinduan pada keluarga tetap ia rasakan. “Sangat rindu tete nene, harus pulang ketemu sekali,” ujarnya, berharap bisa pulang saat Natal.
Rizki Rian Saputra


