Menggeser fokus dari beras ke industri padi modern

Update: 2025-09-14 05:40 GMT

Petani menyemprotkan pestisida ke tanaman padi mereka di lahan pertanian Desa Kiping, Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (9/9/2025). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

Industri perberasan merupakan salah satu wajah nyata dari kompleksitas pembangunan pertanian di Indonesia.

Dalam kerangka besar pembangunan pertanian nasional, arah kebijakan sesungguhnya sudah cukup jelas yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat, memperkuat ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal, meningkatkan nilai tambah produk, memperluas aktivitas ekonomi, dan menciptakan kesempatan kerja yang adil melalui pengembangan agribisnis.

Namun implementasi di lapangan menunjukkan bahwa bangsa ini masih sering terjebak dalam cara pandang yang sempit, yakni melihat beras hanya sebagai produk akhir, bukan sebagai bagian dari sistem agribisnis yang luas dan penuh potensi.

Inilah yang membuat negeri ini perlu menata ulang cara pandang dan kesepahaman antar pemangku kepentingan dalam industri perberasan.

Konsep agribisnis sejatinya bukan sekadar budidaya tanaman atau ternak. Tapi mencakup seluruh rantai nilai mulai dari hulu hingga hilir. Sub-sistem hulu menyediakan sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, obat hewan, hingga mesin pertanian.

Sub-sistem tengah adalah budidaya itu sendiri, menghasilkan komoditas primer seperti padi, hortikultura, atau ternak. Sub-sistem hilir mengolah hasil pertanian primer menjadi produk antara maupun produk akhir, seperti beras, tepung, makanan, minuman, hingga industri agrowisata.

Sementara itu, sub-sistem penunjang berupa penelitian, pembiayaan, asuransi, transportasi, pendidikan, dan kebijakan pemerintah menjadi elemen yang menentukan apakah seluruh rantai ini bisa berjalan selaras.

Semua sub-sistem tersebut saling terkait dan harus diperkuat secara bersamaan jika kita ingin membangun ketahanan pangan yang kokoh.

Dalam konteks beras, masalah muncul ketika orientasi industri lebih banyak berhenti pada mengubah gabah menjadi beras. Akibatnya, harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen saling tarik menarik tanpa ruang inovasi yang memberi nilai tambah.

Bila harga gabah dinaikkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, harga beras otomatis naik sehingga membebani konsumen. Sebaliknya, bila harga beras ditekan, petani yang menanggung kerugian karena harga gabah rendah.

Kondisi ini diperparah oleh tengkulak dan pedagang yang tetap mengamankan margin keuntungan mereka.

Siasat penggilingan yang merugikan konsumen pun muncul, seperti menjual beras dengan kadar air tinggi sehingga cepat rusak atau menggunakan pemutih untuk memperbaiki tampilan beras lama. Situasi seperti ini jelas tidak sehat dan membutuhkan solusi mendasar.

Salah satu solusi strategis adalah mengubah paradigma dari industri beras menjadi industri padi. Industri padi tidak sekadar memproduksi beras, melainkan mengolah seluruh produk ikutan padi menjadi sumber nilai tambah baru.

Sekam dapat diolah menjadi sumber energi listrik, bahan bangunan, bahkan bahan baku industri canggih seperti silikon chips.

Bekatul bisa menjadi minyak beras, bahan obat-obatan, kosmetik, dan pakan ternak. Menir dapat dijadikan tepung beras atau diolah menjadi germ rice yang bernilai tinggi.

Dengan diversifikasi pemanfaatan hasil samping, ketergantungan pada fluktuasi harga beras dapat dikurangi, kesejahteraan petani meningkat, dan konsumen tetap terlindungi dari beban harga tinggi.

Inilah inti dari transformasi yang harus dilakukan, melihat padi bukan hanya sebagai sumber beras, tetapi sebagai sumber multi-produk bernilai ekonomi.

Sistem terintegrasi

Transformasi ini tentu membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah. Insentif fiskal seperti keringanan pajak, kemudahan izin, dan bunga pinjaman rendah bagi pelaku usaha agroindustri padi bisa menjadi pemicu penting.

Kebijakan yang proaktif bukan hanya menggairahkan industri, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan daerah, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Namun, kebijakan saja tidak cukup tanpa kesamaan cara pandang antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, asosiasi profesi, dan petani. Sinergi menjadi kunci agar setiap pihak tidak berjalan sendiri-sendiri.

Nilai budaya gotong royong, seperti “sauyunan” dalam kearifan lokal Sunda, dapat menjadi filosofi yang mengikat kolaborasi semua pihak dalam membangun industri padi yang sehat.

Asosiasi petani dan organisasi profesi seperti PERHEPI, PERAGI, PERSAGI, maupun lembaga seperti HKTI, Dewan Tani, hingga KTNA harus hadir sebagai mediator yang menjembatani kepentingan petani dengan dunia usaha.

Perguruan tinggi dan lembaga penelitian juga perlu memperkuat perannya dalam menghadirkan inovasi teknologi pasca panen, sistem pengolahan modern, hingga pengembangan produk turunan padi.

Dengan demikian, petani tidak lagi menjadi pihak yang curiga dan dirugikan, melainkan mitra sejajar dalam rantai nilai agribisnis.

Kontak yang intensif, dialog yang transparan, dan silaturahmi yang terjaga akan meminimalisasi konflik sekaligus membangun rasa percaya di antara seluruh pelaku.

Contoh konkret sudah ada. Di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, PT Lunafa Pangan Sejahtera melakukan investasi dalam pengolahan pasca panen modern dengan mesin pengering dan pemroses gabah dari Vietnam.

Dengan kapasitas dua ton per jam, teknologi ini mempercepat pengeringan gabah, meningkatkan kualitas beras, serta memberi nilai tambah ekonomi bagi petani.

Lebih dari itu, inisiatif ini membuka ruang kemitraan sejajar dengan pedagang beras, Bulog, maupun tengkulak. Inovasi seperti ini menunjukkan bahwa perubahan bukan mustahil, asalkan ada keberanian, dukungan kebijakan, dan kesamaan visi.

Fenomena ini layak dijadikan inspirasi untuk memperluas model serupa di berbagai daerah sebagai jalan keluar dari lingkaran lama persoalan harga gabah dan beras.

Industri perberasan tidak bisa lagi didekati dengan pola pikir parsial. Kita butuh kesamaan cara pandang bahwa agribisnis bukan sekadar urusan produksi, tetapi sistem terintegrasi yang memberi nilai tambah di setiap lini.

Padi bukan hanya beras, melainkan sumber daya yang bisa menopang energi, kesehatan, teknologi, hingga industri kreatif. Petani bukan sekadar produsen bahan mentah, melainkan pelaku usaha yang pantas dihargai setara dengan pelaku industri lain.

Dengan cara pandang baru ini, kesejahteraan petani bisa naik, konsumen terlindungi, dan industri perberasan menjadi bagian penting dari kemandirian pangan nasional.

Saat semua pemangku kepentingan mau melangkah dalam irama yang sama, maka cita-cita mewujudkan ketahanan pangan yang berkeadilan akan lebih dekat tercapai.

*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.

Tags:    

Similar News