Uji coba digitalisasi bansos di Banyuwangi: Efektivitas dan tantangan

Uji coba digitalisasi bansos di Banyuwangi dinilai jadi langkah awal transformasi layanan publik agar penyaluran lebih cepat, aman, dan tepat sasaran.

Update: 2025-09-19 07:33 GMT

Pemerintah mulai mengimplementasikan uji coba sistem digitalisasi Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) untuk penyaluran Bantuan Sosial (bansos). Uji coba perdana dilakukan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada Kamis lalu. Langkah ini disebut sebagai awal dari transformasi digital dalam layanan publik, yang memanfaatkan Digital Public Infrastructure (DPI) dengan tiga komponen utama: identitas digital, pembayaran digital, dan pertukaran data.

Tujuannya jelas: agar penyaluran bansos menjadi lebih cepat, aman, transparan, dan tepat sasaran. Namun, efektivitas program ini masih menjadi bahan perbincangan, baik dari segi kesiapan infrastruktur, literasi digital masyarakat, hingga pengawasan implementasi di lapangan.

Digitalisasi Bansos: Dari Manual ke Sistem DPI

Selama bertahun-tahun, distribusi bansos di Indonesia masih menghadapi banyak masalah klasik, mulai dari data penerima yang tidak akurat, keterlambatan pencairan, hingga kasus penyelewengan di lapangan. Dengan digitalisasi berbasis DPI, pemerintah ingin memutus rantai masalah tersebut.

DPI memungkinkan integrasi data lintas lembaga melalui identitas digital, memastikan bahwa penerima bansos adalah mereka yang benar-benar berhak. Pembayaran digital melalui rekening atau dompet elektronik meminimalisir kebocoran dana, sementara pertukaran data secara real-time memperkuat akurasi pembaruan penerima bantuan.

Pandangan Prof. Firdaus Syam: Teknologi Harus Disertai Kesiapan Sosial

Sosiolog Universitas Nasional Jakarta, Prof. Firdaus Syam, menilai uji coba digitalisasi bansos merupakan langkah progresif menuju reformasi layanan publik. Menurutnya, sistem berbasis DPI memang memiliki potensi besar dalam meningkatkan efektivitas penyaluran bantuan sosial.

Namun, ia mengingatkan bahwa digitalisasi bukan sekadar soal penerapan teknologi. Faktor kesiapan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti warga miskin, lansia, dan masyarakat pedesaan, harus menjadi perhatian utama.

“Digitalisasi harus menjadi sarana pelayanan yang cepat, aman, nyaman, dan mudah, namun tetap ada jaminan agar data identitas masyarakat tidak disalahgunakan,” tegas Firdaus.

Tantangan di Lapangan: Literasi dan Infrastruktur

Meski konsep digitalisasi terlihat menjanjikan, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, literasi digital masyarakat masih rendah, terutama di daerah pedesaan. Banyak warga yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan digital atau aplikasi daring. Tanpa pendampingan, mereka bisa kesulitan mengakses haknya.

Kedua, infrastruktur jaringan internet di beberapa wilayah masih terbatas. Padahal, digitalisasi bansos sangat bergantung pada akses internet stabil. Jika tidak diantisipasi, justru bisa terjadi ketimpangan baru: warga di kota mudah mengakses bantuan, sementara warga desa terhambat.

Ketiga, perlindungan data pribadi. Digitalisasi berarti semakin banyak data sensitif yang tersimpan dalam sistem. Risiko kebocoran atau penyalahgunaan data harus ditekan dengan regulasi ketat dan teknologi keamanan yang memadai.


Peran Petugas Lapangan dan Partisipasi Publik

Prof. Firdaus menekankan bahwa meski sistem bansos sudah digital, peran petugas lapangan tetap sangat penting. Mereka bertugas melakukan verifikasi data, memastikan penerima sesuai kriteria, serta membantu masyarakat yang kesulitan mengakses sistem.

Lebih jauh, ia menyarankan adanya keterlibatan masyarakat melalui RT dan RW untuk mengawasi penyaluran bansos. Dengan partisipasi publik, potensi manipulasi data atau praktik penyalahgunaan dapat ditekan.

“Petugas dan masyarakat harus menjadi benteng pertama dalam memastikan bansos tepat sasaran,” ujarnya.

Manfaat Digitalisasi: Transparansi dan Efisiensi

Jika berhasil diterapkan secara luas, digitalisasi bansos akan memberikan sejumlah manfaat besar.

  • Transparansi: Data penerima dan jumlah bantuan dapat dipantau secara real-time.
  • Efisiensi: Proses distribusi lebih cepat, tanpa birokrasi berbelit.
  • Akurasi: Verifikasi identitas digital meminimalisir penerima ganda.
  • Keamanan: Penyaluran lewat jalur digital mengurangi risiko pungli atau penyimpangan.
  • Kenyamanan: Penerima bisa langsung mengakses bantuan tanpa harus antre panjang.

Dengan sistem ini, pemerintah bisa menghemat biaya distribusi, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap program bansos.


Risiko yang Perlu Diantisipasi

Meski menjanjikan, ada beberapa risiko yang patut diwaspadai:

  • Digital divide: Warga yang tidak memiliki smartphone atau akses internet bisa tertinggal.
  • Ketergantungan pada teknologi: Gangguan sistem atau serangan siber bisa melumpuhkan distribusi.
  • Resistensi sosial: Sebagian masyarakat mungkin menolak sistem baru karena terbiasa dengan cara lama.
  • Beban birokrasi: Jika tidak ada integrasi lintas kementerian, justru bisa terjadi tumpang tindih sistem.


Efektivitas: Apakah Bisa Menjawab Harapan?

Efektivitas digitalisasi bansos ditentukan oleh tiga faktor utama:

  • Kualitas Data: Akurasi data penerima yang diperbarui secara rutin.
  • Kesiapan Infrastruktur: Ketersediaan jaringan internet, perangkat, dan dukungan sistem keamanan.
  • Pendampingan Sosial: Edukasi kepada masyarakat agar bisa mengakses bantuan tanpa hambatan.

Jika ketiga faktor ini terpenuhi, digitalisasi bansos berpotensi menjadi game changer dalam kebijakan sosial Indonesia.


Rekomendasi untuk Pemerintah

Agar transformasi ini sukses, ada beberapa rekomendasi penting:

  • Menyediakan program literasi digital khusus bagi penerima bansos.
  • Meningkatkan infrastruktur jaringan di wilayah terpencil.
  • Mengintegrasikan data antar-kementerian agar tidak terjadi duplikasi.
  • Menjamin perlindungan data pribadi dengan standar keamanan tinggi.
  • Melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan program.


Bansos Digital sebagai Masa Depan

Digitalisasi bansos di Banyuwangi adalah langkah awal yang menentukan arah kebijakan sosial di Indonesia. Dengan memanfaatkan DPI, pemerintah ingin memastikan setiap rupiah anggaran tepat sasaran, transparan, dan memberikan dampak nyata.

Namun, kesuksesan program ini tidak hanya ditentukan oleh teknologi, melainkan juga kesiapan masyarakat, kualitas pengawasan, dan komitmen politik.

Seperti ditegaskan Prof. Firdaus Syam, digitalisasi hanyalah alat. Pada akhirnya, tujuan utama adalah menghadirkan layanan publik yang adil, cepat, dan berpihak pada kelompok rentan.

Jika mampu mengatasi tantangan, Indonesia bisa menjadi contoh negara berkembang yang berhasil mengintegrasikan teknologi dalam kebijakan sosial. Sebaliknya, tanpa persiapan matang, digitalisasi justru bisa menambah kesenjangan.

Karena itu, perjalanan uji coba di Banyuwangi harus dijadikan laboratorium kebijakan, tempat di mana pemerintah belajar, masyarakat berpartisipasi, dan semua pihak berkolaborasi demi kesejahteraan bersama.

(Nesya)

Tags:    

Similar News