AS hentikan status perlindungan warga Myanmar
Tangkapan layar - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN yang digelar di Kuala Lumpur Convention Center, Malaysia, Minggu (26/10/2025). ANTARA/Fathur Rochman.
Pemerintahan Trump akan mengakhiri Status Perlindungan Sementara (Temporary Protected Status/TPS) bagi lebih dari 4.000 warga negara Myanmar di Amerika Serikat mulai 24 Januari, dengan alasan membaiknya situasi di negara tersebut.
“Melalui pemberitahuan ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menyatakan bahwa Menteri Keamanan Dalam Negeri mengakhiri penetapan Burma (Myanmar) sebagai penerima Status Perlindungan Sementera. Penetapan bagi Burma dijadwalkan berakhir pada 25 November 2025,” bunyi pengumuman DHS yang dijadwalkan terbit pada Selasa.
Menteri DHS, Kristi Noem, menetapkan bahwa Burma tidak lagi memenuhi syarat untuk memperoleh penetapan TPS, sambung pernyataan tersebut.
Setelah 24 Januari, warga Myanmar yang sebelumnya telah menerima TPS akan kehilangan status tersebut.
Dalam pemberitahuan tersebut disebutkan bahwa terdapat 3.969 warga Myanmar yang telah mendapatkan manfaat TPS serta 236 pemohon yang masih menunggu keputusan.
DHS menyimpulkan bahwa penghentian penetapan TPS bagi Myanmar diperlukan, karena mengizinkan keberadaan warga Myanmar secara sementara di Amerika Serikat dianggap tidak sesuai dengan kepentingan nasional.
Sejak dimulainya pemerintahan Trump periode kedua, Amerika Serikat secara konsisten mencabut status perlindungan sementara dari sejumlah negara.
Penghentian serupa terjadi pada Mei, saat DHS mengumumkan penghentian TPS bagi hampir 12.000 warga Afghanistan dengan alasan situasi keamanan di Afghanistan telah membaik. Kemudian pada akhir Juni, DHS juga memutuskan mencabut TPS bagi lebih dari 260.000 warga Haiti.
Pada Juli, DHS kembali mencabut TPS untuk sekitar 4.000 imigran dari Nikaragua dan 72.000 warga negara Honduras. Lalu, pada September, pemerintah juga menghentikan TPS bagi lebih dari 6.000 warga Suriah.
Sumber: Sputnik/RIA Novosti-OANA