110 anak direkrut jaringan teroris via game online, Pemerintah perketat pengawasan digital
Komjen Pol Eddy Hartono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Media sosial dan gim daring kini menjadi medan baru penyebaran propaganda dan perekrutan kelompok terorisme terhadap anak dan remaja. Data Densus 88 Antiteror Polri menunjukkan, sepanjang 2025 terdapat 110 anak direkrut jaringan Ansaruddaulah yang berafiliasi dengan ISIS dan tersebar di 26 provinsi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Eddy Hartono menegaskan bahwa pola baru radikalisasi di ruang digital semakin agresif dan terstruktur. "Di sana ditemukan bahwa memang internet menjadi media utama ataupun yang efektif yang digunakan jaringan terorisme untuk melakukan 3 hal, propaganda, rekrutmen, dan pendanaan terorisme,” ujarnya dalam Program Talk Highlight Radio Elshinta pada Edisi Pagi, Jumat (21/11/2025)
BNPT mengidentifikasi game online sebagai medium yang paling sering dimanfaatkan jaringan teror. Melalui fitur voice chat dan private chat, pelaku membangun kedekatan dengan anak melalui digital grooming—proses pendekatan emosional, minat, hingga ketergantungan.
“Hasil pantauan kami bahwa ini memang merupakan strategi dari kelompok jaringan terorisme. Makanya mereka memerlukan kaderisasi. Nah, kaderisasi ini, sebenarnya ada anak-anak dan perempuan yang jadi target mereka. Karena anak-anak merupakan kelompok rentan, gampang, mudah disusupi. Mudah didoktrinasi, sehingga inilah yang lebih diutamakan,” papar Eddy.
Beberapa anak bahkan sudah menunjukkan rencana melakukan serangan terhadap institusi tertentu sebelum terdeteksi aparat.
Untuk memitigasi risiko, Pemerintah menerapkan langkah regulatif melalui PP No. 17 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Berisiko Tinggi—yang mewajibkan platform game menerapkan verifikasi usia.
Platform seperti Roblox disebut telah menyiapkan verifikasi melalui kamera dan ID card yang akan diberlakukan mulai 2026, serta pembatasan voice chat berdasarkan kelompok usia. Orang tua juga didorong memanfaatkan fitur parental control untuk memantau aktivitas digital anak.
BNPT kini mengoperasikan Satgas Kontra Radikalisasi bersama BSSN, BIN, BAIS TNI, Densus 88, dan Kominfo untuk memantau konten digital bermuatan radikalisme setiap hari. Selain itu, BNPT membentuk Tim Koordinasi Nasional Perlindungan Khusus Anak Korban Terorisme, melibatkan KemenPPPA, KPAI, Kemensos, Kemendikbudristek, hingga Kemenag. Anak-anak yang terpapar kini menjalani rehabilitasi psikologis di Balai Rehabilitasi Handayani milik Kemensos.
Pendekatan yang digunakan mengacu pada prinsip kepentingan terbaik anak, pemulihan psikologis, serta keadilan restoratif. Menurut Eddy, profil anak rentan tidak tunggal. Banyak yang terpapar akibat beban akademik dan stres, konflik keluarga, kurang pengawasan, lingkungan pertemanan dan pengalaman bullying.
“Karena itu pemulihan dilakukan tidak hanya kepada anak, tetapi juga orang tua, guru, dan lingkungannya,” ujarnya.
Sejumlah pendengar Elshinta menyoroti faktor ketidakadilan hukum dan ekonomi sebagai pemicu suburnya radikalisme. Eddy mengakui bahwa kelompok teror memang memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai pintu masuk rekrutmen, termasuk narasi khilafah yang masih berkembang meski HTI sudah dibubarkan.
“Tugas kami adalah memastikan masyarakat tidak menjadi korban propaganda itu melalui sinergi dari hulu sampai hilir,” tegasnya.
BNPT menegaskan bahwa pencegahan radikalisasi dilakukan melalui tiga lini utama, yaitu penguatan regulasi digital, pemantauan konten ekstrem, serta rehabilitasi dan perlindungan anak korban. “Pemerintah tidak melarang anak mengakses internet, tetapi memastikan ekosistem digitalnya aman,” kata Eddy.
Penulis: Sukma Salsabilla/Ter