ARCB: Bangsa besar bukan yang hidup dari luka, tapi dari penghormatan
Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB), Wahyu Irawan, menilai penolakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, mencerminkan cara pandang yang terlalu personal terhadap sejarah bangsa.
Sumber foto: Heru Lianto/elshinta.com.
Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB), Wahyu Irawan, menilai penolakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, mencerminkan cara pandang yang terlalu personal terhadap sejarah bangsa. Menurut Wahyu, bangsa besar seharusnya tidak hidup dari luka masa lalu, melainkan tumbuh melalui penghormatan terhadap jasa para pemimpinnya.
“Kalau setiap luka pribadi dijadikan ukuran dalam menilai sejarah, maka bangsa ini akan terjebak dalam ruang dendam yang tidak ada ujungnya. Indonesia tidak dibangun oleh satu keluarga, tapi oleh banyak tangan dan pengorbanan.” Wahyu kepada wartawan, Sabtu, 8 November 2025.
Pernyataan Megawati sebelumnya disampaikan dalam seminar internasional memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar. Ia menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dengan alasan adanya luka sejarah keluarga, terutama terkait masa-masa akhir kepemimpinan Soekarno.
Wahyu menilai, alasan tersebut justru berpotensi mengaburkan esensi kepahlawanan yang bersifat nasional.
“Luka pribadi seharusnya disembuhkan, bukan diwariskan. Kalau bangsa ini terus memelihara luka, kapan kita belajar berdamai dengan sejarah?” ujarnya.
Menurutnya, jasa Soeharto terhadap pembangunan bangsa tidak bisa dihapus begitu saja oleh perbedaan tafsir politik. Ia mengingatkan, selama lebih dari tiga dekade, Soeharto berhasil menjaga stabilitas nasional, menumbuhkan ekonomi rakyat, dan memperkuat pertahanan negara.
“Pak Harto punya catatan panjang dalam pembangunan dan diplomasi. Kita bisa berdebat tentang kekurangannya, tapi menutup mata terhadap jasanya itu bentuk ketidakadilan sejarah,” katanya.
Wahyu menambahkan, Indonesia membutuhkan keteladanan untuk berdamai dengan masa lalu, bukan terus-menerus terjebak dalam narasi luka.
“Kita sering dengar partai bicara tentang perdamaian, tapi jika perdamaian dimulai dengan menolak pengakuan atas jasa, bukankah itu paradoks?” tuturnya.
Ia juga menyindir kecenderungan sebagian elit politik yang masih melihat sejarah sebagai milik keluarga, bukan bangsa.
“Sejarah bukan album keluarga, apalagi tempat menyimpan sakit hati. Sejarah adalah cermin bangsa untuk menatap masa depan,” kata Wahyu seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Heru Lianto, Sabtu (8/11).
ARCB, kata Wahyu, mendorong pemerintah untuk segera mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto sebagai bentuk penghormatan atas jasa kepemimpinannya.
“Kami di Cirebon masih merasakan hasil nyata dari kebijakan Orde Baru, mulai dari pertanian, pendidikan, hingga infrastruktur. Itu bagian dari sejarah pembangunan yang tak bisa dihapus hanya karena perasaan,” ujarnya.
Wahyu mengajak seluruh pihak untuk menempatkan sejarah secara proporsional.
“Bangsa besar bukan yang hidup dari luka, tapi dari penghormatan terhadap mereka yang telah berjuang. Mengakui jasa Soeharto bukan berarti melupakan Soekarno, justru itu cara terbaik untuk menjaga keseimbangan sejarah Indonesia,” pungkasnya.