BNPT perkuat koordinasi nasional untuk perlindungan khusus anak korban terorisme

Update: 2025-11-19 15:04 GMT

Foto: Istimewa

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menegaskan komitmennya memperkuat perlindungan bagi anak yang menjadi korban terorisme melalui pembentukan Tim Koordinasi Nasional Perlindungan Khusus Anak Korban Terorisme dalam rangka perlindungan anak korban jaringan terorisme, dimana pemerintah mengedepankan pendekatan multisektoral yang berfokus pada Pencegahan, Rehabilitasi dan Reintegrasi dengan mempertimbangkan prinsip kepentingan anak (the best interest of child), pemulihan, serta keadilan restoratif.

Upaya ini menjadi langkah strategis pemerintah sesuai dengan Asta Cita dan RPJMN dalam memperkuat sinergi antar instrumen pertahanan dan keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan aksi terorisme khususnya dalam menghadapi meningkatnya pola rekrutmen dan paparan ekstremisme terhadap anak, termasuk melalui ruang digital.

“Bahwa berdasarkan peraturan presiden no 7 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme dari situ kami menjabarkan membuat Tim Koordinasi Nasional Perlindungan Khusus terhadap Anak Korban Terorisme, dimana kami juga membuat pedoman mekanisme koordinasi penanganan terhadap anak menjadi korban terorisme,” ujar Kepala BNPT, Eddy Hartono saat melakukan Konferensi Pers Penanganan Rekrutmen Secara Online terhadap Anak-Anak oleh Kelompok Terorisme di Gedung Bareskrim Polri pada Rabu (19/11), seperti dalam rilis yang diterima Redaksi Elshinta.com.

Ia menegaskan bahwa BNPT melibatkan kementerian dan lembaga terkait dalam memberikan perlindungan komprehensif.

“Hari ini kami hadir bersama-sama Kementerian PPPA, Kemensos, Komdigi, LPSK, KPAI, Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Densus 88 AT dan Bareskrim Polri dimana dengan pendekatan multi sektor, fokus terhadap faktor kegiatan pencegahan, rehabilitasi dan perlindungan, nah ini yang menjadi prinsip-prinsip apalagi terhadap anak ini demi kepentingan baik anak, kemudian pemulihan dan keadilan restoratif,” jelasnya.

Eddy pun menambahkan fenomena rekrutmen online menjadi perhatian khusus karena bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi secara global. Pemerintah pun menetapkan isu ini sebagai salah satu prioritas nasional.

“Oleh sebab itu fenomena rekrutmen online terhadap anak oleh kelompok terorisme ini tidak hanya di Indonesia tapi ini menjadi ancaman global sehingga di setiap negara ini menjadi atensi. Pemerintah melalui bapak Presiden RI, kegiatan ini masuk dalam RPJMN 2025 - 2029, sehingga hari ini kami memberikan informasi kepada rekan-rekan media bagaimana upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Juru Bicara Densus 88 AT Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menekankan pentingnya pencegahan dari lingkungan terdekat.

"Pesan kami kepada seluruh orang tua, pihak sekolah, dan seluruh elemen yang terlibat atau yang bertanggung jawab terhadap mindset terhadap anak-anak kita, kita selalu melakukan upaya kontrol, melakukan upaya deteksi berawal dari rumah tangga, itu yang paling efektif dalam upaya pencegahan” ucapnya.

Sementara itu Plt Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Ratna Susianawati, S.H., M.H., menegaskan bahwa seluruh pihak harus memperkuat koordinasi dan kolaborasi dalam perlindungan anak. Dirinya pun menyebut KemenPPPA selalu menekankan upaya penguatan regulasi dan pencegahan terpaparnya anak oleh paham radikalisme terorisme.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentunya akan memasifkan berbagai regulasi, policy-policy yang terkait perlindungan anak, khususnya pelaksanaan dari UU No 23 Tahun 2002 dan UU No 35 Tahun 2014 terkait perlindungan anak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, S.S., M.Si., mengingatkan pentingnya penegakan aturan dalam proses penanganan anak korban jaringan terorisme. KPAI ingin memastikan mengenai prinsip-prinsip perlindungan anak dalam penanganan anak menjadi korban terorisme sesuai dengan perundang-undangan sistem peradilan pidana anak atau Undang-undang No 11 tahun 2012.

“KPAI, sesuai dengan tugas dan fungsi yang berlaku, akan memastikan seluruh proses yang terkait dengan penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau anak korban terorisme ini harus dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terkait pasal mengenai perlindungan khusus untuk anak yaitu pasal 59 ayat 2 yang ada di dalam undang-undang perlindungan anak. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa prinsip terkait yaitu, yang pertama tentu bahwa proses itu harus dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Kemudian memprioritaskan pada proses diversi dan juga keadilan restorasi,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Irjen Pol. Dr. Alexander Sabar, S.I.K., M.H., menambahkan pentingnya menjaga ruang digital tetap aman.

“Disini kami ingin menghimbau untuk kita semua untuk bisa bersama-sama menjamin atau menjaga ruang digital kita tetap aman, sehat dengan tetap menjamin adanya kreatifitas yang baik di ruang ruang digital kita,” ungkapnya.

Ia juga menegaskan dasar hukum penguatan ruang digital yang aman dan sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama anak sudah tertuang dalam PP Tunas tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.

“Dalam konteks perlindungan anak, Komdigi selaku regulator sudah mengesahkan apa yang kita sebut sebagai PP Tunas dan ada masa transisi yang harus segera kita proses nantinya selama dua tahun ini untuk menetapkan aturan-aturan turunan dan prosedur-prosedur teknis yang nanti menjadi panduan dalam pelaksanaannya. Satu hal yang menjadi inti disitu adalah peran serta dari masyarakat, utamanya peran dari orang tua ketika membersamai anak dalam aktivitas anak-anak di ruang digital,” katanya.

Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan Kemensos, Rachmat Koesnadi, menegaskan bahwa dukungan pemulihan sosial terus diperkuat oleh Kemensos.

“Sudah hampir 300 lebih anak dan keluarganya dilayani dan direhabilitasi oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan BNPT, densus, dan Kementerian Lembaga yang lainnya untuk mendampingi dan mempersiapkan dukungan-dukungan sosial serta memberikan layanan-layanan terapi dan psikologis, dan selanjutnya direintegrasikan ke keluarganya dan lingkungan dimana mereka tinggal sebelumnya,” ujarnya.

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, S.H., M.H., juga menegaskan komitmen lembaganya dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada anak-anak yang menjadi korban.

“Kami juga siap bergabung dengan tim untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap anak-anak yang terpapar radikalisme ini sehingga anak-anak Indonesia bebas dari radikalisme dan kami siap dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada anak-anak yang menjadi korban, saksi dalam kasus ini,” ujarnya.

Dalam konteks perlindungan anak, status anak sebagaimana korban telah ditegaskan dalam berbagai regulasi nasional, termasuk UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan perlindungan khusus dan intervensi komprehensif; UU No. 5 Tahun 2018 yang menetapkan pemberatan hukuman bagi pelaku terorisme yang melibatkan anak; serta PP No. 78 Tahun 2021 yang mengklasifikasikan anak korban jaringan terorisme dalam empat kategori: anak korban, anak saksi, anak pelaku, dan anak dari pelaku. Seluruh kerangka regulasi ini diperkuat oleh Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang RAN PE, yang melahirkan “Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme” pada tahun 2024 sebagai acuan nasional dalam penanganan kasus, termasuk yang melibatkan ruang digital.

Melalui sinergi lintas sektor ini, pemerintah berkomitmen memastikan setiap anak korban dapat pulih dan kembali menjalani masa depan sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak.Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan dapat memperkuat pencegahan, rehabilitasi, dan perlindungan bagi anak dari ancaman ekstremisme.

Langkah ini menjadi semakin penting mengingat meningkatnya kasus keterlibatan anak. Sepanjang tahun ini, Densus 88 telah menangani 5 orang dewasa yang berusaha merekrut anak-anak dan pelajar, dengan 5 tersangka yang sudah diamankan melalui tiga kali penegakan hukum sejak akhir Desember 2024 hingga 17 November 2025.

Pada periode sebelumnya, yaitu tahun 2011 hingga 2017, Densus 88 mencatat telah mengamankan 17 anak terkait jaringan terorisme. Namun, pada tahun 2025, jumlah korban meningkat tajam, dengan lebih dari 110 anak yang teridentifikasi sebagai korban rekrutmen daring. Temuan lapangan ini menunjukkan bahwa ancaman telah berkembang cepat dan membutuhkan respons negara yang semakin terkoordinasi dan adaptif.

Tags:    

Similar News