Budaya diam dan rendahnya empati jadi akar masalah maraknya bullying anak
Stop bullying pada anak (ilustrasi)
Kasus perundungan atau bullying di kalangan anak dan remaja terus memantik keprihatinan publik. Psikiater dan Humas PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Ida Romawati, menilai budaya diam dan lemahnya pendidikan karakter menjadi faktor penting yang membuat praktik perundungan semakin marak. Ia menekankan pentingnya membentuk generasi defenders of victim — anak-anak yang berani bersuara dan membela ketika melihat ketidakadilan.
Dalam wawancara bersama Radio Elshinta, Rabu (12/11/2025) pagi, dr. Ida Romawati mengungkap bahwa persoalan bullying tidak bisa hanya dilihat dari sisi pelaku dan korban semata. Ada ekosistem sosial yang membuat perundungan bertahan dan bahkan dianggap “normal”.
“Selama ini kita hanya berfokus pada pelaku dan korban. Padahal dalam setiap peristiwa bullying ada lima unsur yang berperan,” jelas dr. Ida kepada News Anchor Asrofi.
Lima unsur tersebut adalah pelaku, korban, pendukung aktif, pendukung pasif, dan pembela korban (defenders of victim). Pendukung aktif adalah mereka yang ikut menertawakan atau mendukung pelaku, sementara pendukung pasif hanya diam namun menikmati situasi. Yang paling sedikit jumlahnya justru kelompok pembela korban — orang-orang yang berani menegur, mencegah, atau membela pihak yang disakiti.
“Masalahnya, kita kekurangan kelompok pembela ini. Banyak yang memilih diam karena takut dikucilkan atau tidak diterima oleh kelompoknya,” ujar dr. Ida.
Menurutnya, sikap diam dan menikmati kekerasan secara tidak sadar telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Tayangan-tayangan kekerasan di media sosial, sinetron, hingga permainan digital telah membentuk normalisasi terhadap perilaku agresif.
“Secara insting, manusia memang punya kecenderungan menikmati kekerasan. Ketika hal itu terus ditampilkan dan tidak dikritisi, maka lama-lama dianggap wajar,” paparnya.
Selain faktor sosial, dr. Ida juga menyoroti kesehatan mental anak dan remaja yang kian rentan akibat tekanan zaman. Ia menyebut, stressors masa kini jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya — mulai dari media sosial, tuntutan akademik, hingga tekanan ekonomi keluarga.
“Beban psikologis anak-anak sekarang lebih berat. Media sosial menambah perbandingan sosial yang membuat mereka rentan cemas dan minder. Orang tua pun banyak yang stres, dan tanpa disadari itu berpengaruh pada pola asuh,” tambahnya.
Terkait usulan penetapan status darurat bullying, dr. Ida menilai hal itu penting sebagai bentuk kesadaran kolektif. Namun, ia menekankan bahwa deklarasi semata tidak cukup. “Kalau hanya sebatas kampanye, tidak akan efektif. Kita butuh sistem yang menyentuh tiga hal: preventif-promotif, kuratif, dan rehabilitatif,” jelasnya.
Langkah preventif mencakup kampanye dan pendidikan karakter yang menumbuhkan empati serta keberanian bersuara. Kuratif berarti memastikan setiap kasus bullying ditangani dengan pendekatan psikologis yang tepat. Sedangkan rehabilitatif adalah upaya memulihkan kondisi korban agar mampu beradaptasi kembali tanpa trauma berkepanjangan.
Bullying, menurut dr. Ida, dapat meninggalkan jejak trauma jangka panjang, bahkan memicu gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Namun, di sisi lain, ia juga percaya bahwa trauma bisa menjadi kekuatan, tergantung dukungan lingkungan dan kemampuan seseorang untuk beradaptasi.
Lebih lanjut, dr. Ida menegaskan pentingnya mengajarkan anak-anak sejak dini untuk berani bersuara ketika melihat ketidakadilan — bukan hanya menjadi penonton. “Anak-anak perlu dibiasakan untuk tidak diam ketika melihat yang salah. Karena perubahan besar selalu dimulai dari keberanian kecil untuk membela yang benar,” tutupnya.
Penulis: Sukma Salsabilla/Ter