Dukung penelitian inklusif, KIE Yogyakarta dorong pelibatan kelompok disabilitas

Aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi partisipan dan peneliti penyandang disabilitas penting dilakukan untuk desain riset yang mengedepankan perspektif inklusif.

Update: 2025-11-20 08:10 GMT

Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.

Aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi partisipan dan peneliti penyandang disabilitas penting dilakukan untuk desain riset yang mengedepankan perspektif inklusif. Selain itu juga pelatihan bagi calon periset nondisabilitas agar lebih terbiasa melakukan riset bersama peneliti penyandang disabilitas.

Riset inklusif sangat membutuhkan keterlibatan dari kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas. Keterlibatan dari kelompok disabilitas tersebut dimulai dari proses persiapan hingga diseminasi hasil riset ke pemangku kepentingan.

Empat periset penyandang disabilitas membagikan pengalamannya khususnya terkait tantangan dan harapan untuk implementasi penelitian yang fokus pada topik kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) dalam Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Yogyakarta yang digelar oleh KONEKSI, yakni platform kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia.

Dalam sesi “GEDSI in Research Practice: Addressing Climate Change Without Leaving Anyone Behind,” empat (4) prinsip riset inklusif menjadi materi pembahasan. Termasuk perihal rekognisi (terkait keberadaan data yang menunjukkan pengakuan atas keberadaan kelompok rentan); partisipasi (keterlibatan sebagai periset maupun objek penelitian); akomodasi (untuk mendengarkan masukan semua pihak, termasuk kelompok rentan); dan redistribusi (menyangkut terjadinya perubahan, sebagai dampak dari hasil riset yang inklusif untuk pihak).

Perwakilan Forum Inklusi Disabilitas (Fidakama) Kabupaten Magelang Edi Susanto mengungkapkan dari pengalaman yang dilakukannya saat melakukan kaderisasi enumerator di desa yang melibatkan 60 penyandang disabilitas. Pihaknya memberikan dukungan dan semangat agar mereka nyaman bersosialisasi di masyarakat. Pasalnya, sampai hari ini, masih ada beberapa pandangan negatif yang mengira bahwa penyandang disabilitas tidak bisa apa-apa.

"Maka itu, pembentukan organisasi disabilitas, yang dikukuhkan dengan surat keputusan (SK) Kepala Desa, jadi langkah penting untuk keberlanjutan, karena dana desa dapat dialokasikan untuk mendukung perkembangan mereka," ujarnya dalam Knowledge and Innovation Exchange (KIE) di Yogyakarta, Rabu (19/11/2025).

Hal senada juga disampaikan perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jakarta Mahretta Maha. Menurutnya, pelibatan periset penyandang disabilitas penting untuk mengakomodasi masukan yang lebih inklusif terkait kebutuhan kelompok rentan. Menurutnya, tanpa pelibatan teman disabilitas, desain penelitian yang sebelumnya dibuat mungkin belum mengakomodasi kebutuhan rentan. Dampaknya, baik metode penelitian maupun masukannya menjadi tidak relevan.

"Tidak dapat dimungkiri bahwa riset dengan partisipan penelitian berasal dari kelompok disabilitas, responden tersebut akan lebih nyaman memberi jawaban ketika penanya juga sama-sama menyandang disabilitas. Disamping itu, pelibatan teman disabilitas juga dapat membantu untuk analisis data riset yang lebih sensitif dan mendalam.” katanya.

Perwakilan LIRA Disability Care Mira Aulia pun menegaskan bahwa ada hal utama yang tidak bisa digantikan, ketika riset yang dilakukan menyangkut kelompok disabilitas. Antara lain terkait ikatan, kepercayaan, dan relasi yang setara antara responden dan periset, termasuk ketika memberikan pertanyaan. Sejatinya, data-data inklusif yang didapat hanya akan muncul bila proses penelitiannya dilakukan secara inklusif, lewat pelibatan penuh periset penyandang disabilitas, mulai dari perencanaan hingga implementasinya.

Sementara itu, perwakilan Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Elo Kusuma Alfred Mandeville menyampaikan bahwa pelibatan periset disabilitas juga membantu peneliti nondisabilitas dalam memperkenalkan ragam klasifikasi disabilitas. Termasuk bentuk disabilitas yang tidak terlihat secara kasat mata, sehingga sekilas terkesan sama seperti individu lainnya.

“Misalnya disabilitas berupa low vision, berupa gangguan mata permanen yang membuat individu hanya bisa melihat dengan sebagian penglihatannya.” katanya.

Menanggapi hal itu, Direktur Pendanaan Riset dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Raden Arthur Ario Lelono, mengatakan bahwa selama ini BRIN tidak melakukan pembedaan dalam memberikan pendanaan riset bagi penyandang disabilitas, karena yang terpenting adalah rekam jejak peneliti itu sendiri.

“Di BRIN, riset-riset terkait topik GEDSI yang dilakukan oleh teman-teman penyandang disabilitas jumlahnya masih sangat sedikit. Dari 1.600 judul penelitian, hanya 25 di antaranya yang berfokus pada isu GEDSI. Kami lihat di sini peran KONEKSI cukup komprehensif dalam melibatkan penyandang disabilitas. Jadi, kami juga terdorong menginisiasi kolaborasi pendanaan (co-funding) dengan KONEKSI untuk memberikan kesempatan riset yang lebih besar, dengan skema GEDSI.” pungkasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Kamis (20/11). 

Tags:    

Similar News