Fraksi PAN tolak rencana perubahan status PAM Jaya nadi perseroda demi IPO
Fraksi PAN tolak rencana perubahan status PAM Jaya nadi perseroda demi IPO
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DKI Jakarta menolak rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengubah status Perusahaan Umum Daerah (Perumda) PAM Jaya menjadi Perseroan Daerah (Perseroda).
Partai berlambang matahari putih itu menilai langkah tersebut hanyalah jalan untuk memuluskan upaya PAM Jaya menjadi perusahaan publik atau melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).
Penasihat Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta Bambang Kusumanto mengatakan, penolakan itu sudah disampaikan PAN dalam rapat paripurna dengan eksekutif pada Senin (8/9/2025) lalu.
Rapat paripurna itu mengagendakan pandangan umum fraksi di DPRD DKI Jakarta terhadap Rancangan APBD 2026 dan perubahan bentuk badan hukum Perumda PAM Jaya menjadi Perseroan Terbatas (Perseroda).
“Fraksi PAN menolak terhadap usulan eksekutif tentang perubahan badan hukum Perumda PDAM Jakarta Raya ini menjadi Perseroda,” kata Bambang di kantornya pada Rabu (10/9/2025).
Bambang mengingatkan bahwa penolakan terhadap wacana ini sudah lama digaungkan.
Pada periode sebelumnya, isu serupa juga pernah dibahas dalam rapat Komisi B dan C DPRD DKI Jakarta, namun tertunda lantaran masih adanya persoalan kontrak kerja sama antara PAM Jaya dengan mitra swasta Palija dan Aetra.
Menurutnya, perubahan status perusahaan berpotensi menabrak amanat konstitusi yang mengatur pengelolaan sumber daya alam harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Undang-Undang Dasar 45 Pasal 33 mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam itu dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau kita lihat jiwanya, ini adalah memberikan jaminan hak kepada warga negara untuk bisa mendapatkan secara berkeadilan sumber daya ini,” ujarnya.
Lebih jauh, Bambang mengkritik kebijakan pemerintah daerah yang selama ini hanya mengeluarkan aturan terkait pengendalian pemanfaatan air tanah, tanpa ada peraturan yang secara eksplisit menjamin hak masyarakat terhadap air bersih.
“Tidak ada satu katapun di dalam peraturan perundang-undangan kita yang memberikan jaminan eksplisit bahwa masyarakat dijamin mendapatkan air bersih. Yang ada malah pajak dan pengendalian air bawah tanah dan air permukaan. Ini yang terus terang saja kami gemas,” tegasnya.
Bambang memberi catatan, PAN bisa saja mendukung perubahan status badan hukum PAM Jaya.
Asalkan, Pemerintah DKI mengubah atau membuat alas hukum yang baru tentang jaminan pelayanan air minum untuk masyarakat.
“Pemerintah harus menjamin bahwa warga mendapat air bersih yang terjangkau, berkualitas dan berkeadilan,” imbuhnya.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta ini menilai wacana IPO PAM Jaya justru akan menimbulkan risiko besar karena menyangkut kebutuhan dasar masyarakat.
“Usulan PAM Jaya menjadi Perseroda itu akan menuju ke go public. Kalau Tbk itu, pengendalian Pemprov nanti berkurang, bahkan mungkin tinggal 1 persen saja. Kalau sudah go public, yang akan mengawasi adalah otoritas pasar modal. Pasar modal itu profit oriented, kita tidak bisa membela rakyat, tapi harus membela pemegang saham,” ungkapnya.
Bambang juga menyinggung hal ironi mengenai rencana Pemprov DKI Jakarta yang dulu pernah menolak rencana penjualan saham perusahaan bir daerah, namun justru membuka opsi privatisasi pengelolaan air yang jauh lebih vital.
“Pada saat kita mau jual saham bir, nggak disetujui. Malah ini sekarang mau dijual. Padahal air itu hajat hidup orang banyak. Jadi ini sesuatu yang sangat ironis,” tutur Bambang.
Lebih lanjut, Bambang menekankan seharusnya pemerintah daerah bisa memperbaiki kinerja PAM Jaya ketimbang mendorong IPO.
Kata dia, masih banyak persoalan mendasar yang perlu dibenahi, mulai dari ketergantungan pasokan air baku, tingginya angka kebocoran air (non revenue water/NRW), hingga efisiensi manajemen.
“Lebih baik kinerja PAM Jaya dibantu untuk ditingkatkan. Misalkan ketergantungan air baku yang sekarang 63 persen dari Jatiluhur dan 23 persen dari Tangerang. Lalu non revenue water masih cukup tinggi, 46 persen. Itu dulu yang dibereskan,” katanya.
Bambang juga mengkritik tingginya remunerasi jajaran direksi dan komisaris PAM Jaya yang menurutnya tidak sebanding dengan capaian kinerja.
“Remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi tahun 2022 saja Rp 830 miliar. Masa dengan remunerasi sebesar itu tidak bisa meningkatkan kinerjanya? Harusnya setiap investasi dikaitkan dengan capaian tertentu, misalnya menurunkan NRW,” ujarnya.
Meski begitu, Bambang tetap mengapresiasi sejumlah langkah perbaikan yang dilakukan PAM Jaya, salah satunya dalam hal transparansi pelayanan publik melalui sistem pengaduan berbasis digital.
“Untuk yang saya boleh puji adalah sekarang sudah mulai memperkenalkan reporting melalui media internet sehingga komplain masyarakat bisa lebih cepat ditangani. Itu bukti bisa, dengan teknologi sekarang,” kata Bambang.
Namun, dia menegaskan kembali bahwa privatisasi pengelolaan air adalah langkah yang keliru.
“Kalau memang bisa dibereskan dulu secara internal, kenapa harus IPO? Ini soal hak rakyat, bukan sekadar soal bisnis,” tutupnya.
Sementara itu Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta Husen menilai, perubahan badan hukum yang kemudian bertujuan untuk IPO perlu dicermati, karena perusahaan tersebut bergerak pada kebutuhan mendasar warga yaitu air bersih.
Husen mengatakan bahwa ada sejumlah negara yang gagal setelah bekerja sama dengan swasta untuk pelayanan kebutuhan dasar warganya.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada Pemprov DKI Jakarta untuk bisa mengkaji ulang perubahan badan hukum terhadap PAM Jaya.
"Kami sudah menolak dengan berbagai macam argumentasi yang rasional dan ilmiah bukan sekadar menolak tanpa ada kajiannya," kata Husen.