Generasi QRIS di era cashless society

Update: 2025-10-28 05:00 GMT

Beberapa tahun lalu, membayar dengan kode QR masih terasa asing. Kini, hampir di setiap sudut negeri, dari kafe di Jakarta hingga warung kopi di Jambi, kita bisa melihat satu kebiasaan baru: pelanggan mengangkat ponsel, membuka aplikasi, dan scan kode QR untuk membayar.

Tidak ada uang berpindah tangan, tidak ada kembalian receh dan hanya satu yang ditunggu yaitu notifikasi berbunyi “transaksi berhasil.”

Fenomena sederhana ini sejatinya adalah simbol perubahan besar dalam perilaku ekonomi masyarakat Indonesia. Di balik kemudahan itu, ada sistem bernama QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang merupakan sebuah terobosan yang menyatukan berbagai kanal pembayaran digital ke dalam satu standar nasional yang dikelola Bank Indonesia.

Sebagai sebuah sistem digital, QRIS bukan sekadar inovasi teknologi, tapi juga bentuk nyata dari transformasi keuangan nasional yang sedang terjadi secara masif. Sistem ini menjembatani pelaku usaha mikro dengan sistem keuangan formal, mempercepat arus transaksi ekonomi, sekaligus memperkuat basis fiskal melalui pajak digital yang tumbuh pesat.

Yang menarik, di balik lonjakan itu ada satu kelompok sosial yang menjadi motor penggeraknya: Generasi Z, Generasi yang lahir di antara tahun 1997 hingga 2012 ini tidak hanya menjadi pengguna utama teknologi digital, tetapi juga agen perubahan gaya hidup dan perilaku ekonomi. Mereka juga terhubung dengan segala dinamika dan semangat barunya, dan yang paling utama telah menjadikan QRIS bagian dari identitas sosial baru: efisien, modern, dan nirkontak.

Peta Baru

Transformasi sistem pembayaran Indonesia mengalami lompatan besar sejak peluncuran QRIS pada tahun 2019. Bank Indonesia merancang QRIS sebagai solusi untuk menyatukan berbagai kode QR yang sebelumnya terpecah-pecah antar penyedia layanan.

Dengan satu kode yang berlaku lintas aplikasi dan bank, konsumen kini dapat membayar lebih mudah dan pelaku usaha dapat menerima transaksi dari berbagai kanal tanpa biaya tambahan yang rumit.

Efek pembayaran yang terjadi melalui sistem ini juga luar biasa, dimana pada Semester I tahun 2025, total nilai transaksi QRIS telah mencapai Rp579 triliun, dengan volume mencapai 6,05 miliar transaksi. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurut data Bank Indonesia, lebih dari 93% merchant QRIS adalah UMKM, mencakup pedagang kecil, warung, kios, dan pasar tradisional. Artinya, QRIS bukan hanya milik masyarakat urban, tetapi telah menembus akar ekonomi rakyat.

Pertumbuhan transaksi QRIS juga menunjukkan akselerasi yang mengesankan. Pada Januari 2025 saja, nilai transaksi tercatat Rp80,88 triliun, naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga pada kuartal pertama 2025, total nilai transaksi mencapai Rp262,1 triliun, meningkat sekitar 150% dibanding kuartal pertama 2024 yang hanya sebesar Rp105 triliun.

Angka-angka ini tidak sekadar statistik, melainkan indikator bahwa digitalisasi sistem pembayaran telah menjadi bagian dari denyut nadi ekonomi nasional. QRIS bukan hanya teknologi, tetapi infrastruktur sosial-ekonomi baru yang menghubungkan jutaan pelaku usaha dengan jutaan konsumen di seluruh Indonesia.

Gaya Hidup Cashless

Kalangan muda, terutama Generasi Z, menjadi katalis utama di balik melesatnya penggunaan QRIS. Generasi ini hidup di era serba digital mulai dari belajar, bekerja, hingga berbelanja, semua dilakukan lewat layar ponsel. Transaksi pun mengalami revolusi budaya: mereka lebih memilih scan ketimbang menyerahkan uang tunai.

Bagi Gen Z, QRIS bukan sekadar alat bayar. Ia adalah gaya hidup. Mereka menginginkan kecepatan, keamanan, dan kemudahan. QRIS menjawab semua itu: tinggal scan, bayar, dan selesai semua dalam hitungan detik tanpa repot membawa uang tunai.

Lebih jauh, perilaku ini membentuk ekosistem sosial digital baru. Nongkrong di kafe, patungan makan, bahkan berdonasi kini dilakukan secara digital.

Dalam keseharian Gen Z, uang tunai mulai kehilangan tempat; digital wallet menjadi simbol kebebasan dan efisiensi. Fenomena ini juga punya dampak ekonomi langsung. Ketika Gen Z terbiasa bertransaksi digital, maka aktivitas ekonomi mereka terekam dalam sistem formal. Artinya, semakin banyak aktivitas ekonomi yang bisa diukur dan diintegrasikan ke sistem keuangan nasional adalah suatu hal yang dulu sulit dicapai di era ekonomi tunai.

Dengan kata lain, gaya hidup Gen Z secara tidak langsung menopang integrasi fiskal dan keuangan nasional. Mereka tidak hanya pengguna teknologi, tetapi juga pembentuk ekosistem ekonomi baru yang lebih transparan dan akuntabel, serta tetap berkonribusi nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan optimasi penerimaan negara.

Pajak Digital

Transformasi ekonomi digital juga membawa dampak besar bagi penerimaan negara. Setiap transaksi digital yang terjadi, termasuk melalui QRIS, menghasilkan jejak data ekonomi yang dapat menjadi sumber potensi pajak baru.

Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengoptimalkan pemungutan pajak digital. Hingga Agustus 2025, total penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp41,09 triliun. Rinciannya antara lain: PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE): Rp26,12 triliun, Pajak fintech: Rp3,17 triliun, Pajak kripto: Rp1,19 triliun,dan Pajak pengadaan digital: Rp2,90 triliun

Dibandingkan beberapa tahun lalu, angka ini meningkat drastis. Pada 2023, misalnya, total penerimaan pajak digital baru berkisar Rp16,6 triliun. Artinya, dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat sebuah capaian yang menunjukkan bahwa digitalisasi ekonomi mulai berkontribusi signifikan terhadap fiskal nasional. Lebih jauh, ekonomi digital Indonesia sendiri kini bernilai sekitar Rp1.454 triliun (2024), dan dengan potensi tumbuh hingga Rp4.500 triliun pada 2030 menurut proyeksi berbagai lembaga riset internasional.

Dengan demikian, QRIS tidak hanya menciptakan kemudahan bertransaksi, tetapi juga membuka pintu bagi taxable economy baru yang dapat memperluas basis penerimaan negara. Semakin banyak transaksi digital, semakin besar potensi penerimaan pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Namun, tantangan yang dihadapi perlu diantisipasi penanganannya. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pajak digital tetap memperhatikan proporsionalitas dan tidak menekan UMKM yang masih beradaptasi. Prinsip inklusif tetap menjadi kunci agar digitalisasi membawa manfaat bagi semua pihak, bukan hanya pelaku besar.

Inklusi Keuangan

Di luar angka-angka ekonomi, QRIS memiliki makna sosial yang lebih dalam: mewujudkan inklusi keuangan. Bagi banyak pelaku usaha kecil, sebelumnya tidak mudah membuka rekening bank atau menerima pembayaran nontunai. Kini, hanya dengan ponsel dan koneksi internet, mereka bisa menerima pembayaran dari pelanggan di seluruh negeri.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 39 juta merchant QRIS aktif di seluruh Indonesia pada 2025, dengan 93% di antaranya adalah UMKM. Fakta ini memperlihatkan bagaimana QRIS menjadi jembatan antara ekonomi rakyat dan sistem keuangan formal.

Dampaknya meluas ke banyak sisi, antara lain UMKM menjadi lebih bankable karena memiliki rekam jejak transaksi digital, Pelaku usaha kecil dapat mengakses pembiayaan berbasis data transaksi (data-driven lending), dan Konsumen merasa lebih aman dan nyaman karena transaksi tercatat dan terlindungi. Selain itu, digitalisasi transaksi juga mengurangi risiko kehilangan uang, menekan biaya operasional, dan mempercepat perputaran modal.

Dari sisi kebijakan, pemerintah menargetkan tingkat inklusi keuangan nasional mencapai 90% pada 2026. QRIS menjadi alat utama untuk mencapainya karena sifatnya yang murah, mudah, dan bisa diakses oleh siapa saja. Dengan kata lain, QRIS bukan hanya alat pembayaran, melainkan juga simbol keadilan ekonomi baru karena masyarakat kecil pun dapat menikmati akses yang sama terhadap sistem keuangan modern ini.

Masa Depan Keuangan Digital

Gen Z tidak hanya menjadi pengguna QRIS, tetapi juga menjadi penggerak ekosistem keuangan digital. Mereka adalah generasi yang terbuka terhadap inovasi, terbiasa dengan cashless lifestyle, dan memiliki literasi teknologi yang tinggi. Namun, agar transformasi ini benar-benar produktif, dibutuhkan peningkatan literasi keuangan digital agar mereka tidak hanya tahu cara bertransaksi, tetapi juga memahami cara mengelola keuangan dengan bijak.

Dalam banyak survei, Gen Z cenderung memiliki perilaku konsumtif yang tinggi. Hal ini bisa menjadi tantangan baru dalam era digital, di mana segala sesuatu bisa dibeli hanya dengan satu sentuhan layar. Maka, peran edukasi menjadi penting —baik dari pemerintah, lembaga keuangan, maupun dunia Pendidikan-- untuk menumbuhkan kesadaran finansial yang seimbang antara gaya hidup dan tanggung jawab ekonomi.

Selain itu, Gen Z juga dapat berperan sebagai agen inklusi digital. Mereka bisa membantu masyarakat sekitar, terutama di daerah pedesaan, untuk mengenal teknologi pembayaran digital.

Bila gerakan ini terstruktur, maka dalam waktu singkat, digitalisasi keuangan bisa merata, tidak hanya di kota, tetapi juga di desa. Dengan begitu, Generasi QRIS bukan sekadar label, melainkan gerakan nyata menuju pemerataan ekonomi dan inklusi keuangan nasional.

Digitalisasi Mendukung Pertumbuhan Inklusif

Melihat perkembangan yang ada, arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan jelas: memperkuat integrasi antara sistem pembayaran digital, inklusi keuangan, dan basis penerimaan fiskal.

Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyelaraskan agenda transformasi digital melalui strategi nasional Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Tujuannya disini bukan sekadar efisiensi transaksi, melainkan menciptakan ekosistem keuangan yang inklusif, tangguh, dan berkeadilan. Dalam konteks ini, QRIS menjadi tulang punggung karena perannya ganda: mempermudah transaksi masyarakat sekaligus memperluas data ekonomi yang dapat digunakan untuk kebijakan publik.

Selanjutnya dalam rangka menjaga momentum, kebijakan digitalisasi juga harus diimbangi dengan perlindungan konsumen, keamanan data, dan regulasi yang adaptif terhadap inovasi.

Selain itu, integrasi QRIS lintas negara seperti kerja sama antara Bank Indonesia dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura akan membuka peluang baru bagi ekspor jasa dan pariwisata digital. Sehingga apabila langkah ini terus dijalankan secara konsisten, Indonesia bukan hanya menjadi pengguna teknologi finansial, tetapi juga pemimpin ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.

Perjalanan QRIS di Indonesia adalah kisah tentang bagaimana teknologi sederhana dapat membawa perubahan besar. Ia menghubungkan warung kecil dengan sistem keuangan nasional, membuka ruang bagi pemerintah untuk memperluas penerimaan pajak, dan membentuk generasi baru yang lebih terbuka terhadap inovasi finansial.

Generasi Z adalah wajah masa depan ekonomi digital Indonesia. Mereka adalah Generasi QRIS yang membayar tanpa tunai, bertransaksi dengan cepat, dan secara tidak sadar ikut memperkuat ekonomi nasional yang inklusif. Bagi mereka cashless society bukan hanya sekadar tren global, melainkan gaya hidup yang memberi dampak nyata: efisiensi, transparansi, dan pemerataan ekonomi.

Di sisi lain bagi Pemerintah, QRIS menjadi alat strategis untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Arah ke depan kini semakin jelas: ketika teknologi berpadu dengan literasi dan kebijakan publik yang adaptif, maka Indonesia sedang bergerak menuju masa depan ekonomi digital yang tangguh. Setiap scan QR adalah langkah kecil menuju kemakmuran bersama.

Tags:    

Similar News