Kemenperin dorong Industri Hijau menjadi syarat daya saing ekspor

Update: 2025-12-02 09:40 GMT

Sekretaris Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian Muhammad Taufik (tengah) dalam acara "ESG Symposium 2025" di Jakarta, Selasa (2/12/2025). (ANTARA/Aria Ananda)

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, dekarbonisasi dan ekonomi sirkular menjadi syarat daya saing industri Indonesia di pasar global di tengah pengetatan standar hijau dan kebijakan pajak karbon.

Sekretaris Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Muhammad Taufik mengatakan, transformasi menuju industri hijau bukan lagi pilihan melainkan keharusan agar pertumbuhan ekonomi tetap berkelanjutan dan inklusif.

“Dekarbonisasi industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan masa depan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif,” kata Taufik dalam acara "ESG Symposium 2025" di Jakarta, Selasa.

Ia menjelaskan, dunia kini menghadapi tiga krisis lingkungan yang saling terkait, yaitu krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.

Dalam konteks tersebut, Indonesia telah menetapkan komitmen mencapai net zero emission pada 2060 serta meningkatkan target penurunan emisi dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC).

Taufik kemudian mengingatkan industri manufaktur Indonesia menyumbang porsi besar perekonomian, dengan kontribusi sekitar 17,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sekitar 80 persen ekspor nasional atau senilai 167 miliar dolar AS, serta menyerap sekitar 20 juta tenaga kerja.

“Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah kita perlu bertransformasi, tetapi seberapa cepat dan seberapa kolaboratif dunia usaha bisa bergerak sambil tetap menjaga daya saing,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kemenperin mengembangkan kerangka pembangunan industri hijau dengan lima pilar utama, mulai dari penguatan kebijakan dan regulasi, penerapan ekonomi sirkular, inovasi teknologi rendah karbon, standardisasi dan infrastruktur mutu, hingga pengembangan skema pembiayaan hijau.

Pada sisi ekonomi sirkular, Kemenperin mendorong praktik pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang (3R) di seluruh rantai nilai industri, termasuk pemanfaatan limbah sebagai bahan baku industri lain serta pengembangan bahan bakar alternatif dari sampah (waste to energy).

BSKJI, lanjut Taufik, berperan menguatkan standar dan sistem sertifikasi untuk mendukung produk dan proses produksi yang lebih efisien energi, rendah emisi, dan minim limbah, sehingga mampu memenuhi tuntutan pasar global yang makin ketat terhadap produk ramah lingkungan.

Ia menekankan pertumbuhan industri hijau harus bersifat inklusif, tidak hanya dinikmati pelaku usaha besar, tetapi juga melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pekerja, perempuan, generasi muda, serta masyarakat di sekitar kawasan industri.

“Kita ingin transisi industri hijau tidak meninggalkan siapa pun. Semua pihak harus mendapat manfaat dari udara, air, dan lingkungan yang lebih baik,” tutur Taufik.

Lebih lanjut, Taufik memperkirakan saat ini baru sekitar 30-40 persen perusahaan industri yang mulai menyesuaikan diri dengan peta jalan dekarbonisasi yang disiapkan pemerintah. Kemenperin menargetkan seluruh sektor industri telah mengikuti peta jalan tersebut pada 2050.

Ia menambahkan, pemerintah tengah merumuskan skema insentif dan dukungan pembiayaan untuk membantu perusahaan berinvestasi pada teknologi bersih dan efisiensi energi.

Tags:    

Similar News