Mengharumkan asa garam di pantura Cirebon

Sejumlah petambak di Cirebon, Jawa Barat, masih setia menggarap lahannya. Mereka alirkan air laut, meratakannya, dan menanti mentari memanggang tiap petaknya.

By :  Widodo
Update: 2025-11-09 16:30 GMT

Petambak garam saat menggarap lahannya di kawasan perbatasan Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat. ANTARA/Fathnur Rohman.

Sejumlah petambak di Cirebon, Jawa Barat, masih setia menggarap lahannya. Mereka mengalirkan air laut, meratakannya, dan menanti mentari memanggang setiap petaknya. Dari ketekunan itulah, asa mewujudkan swasembada garam terus dijaga.

Siang itu, pada akhir Oktober, udara terasa begitu lembap saat ANTARA menyambangi kawasan pantai utara (pantura) di Kecamatan Astanajapura, Cirebon.

Seorang petambak tampak berdiri di tengah lahan garam, mendorong alat penggaruk panjang ke permukaan air asin yang memantulkan awan kelabu.

Matahari tertutup awan meski tak begitu tebal saat itu, sinarnya hanya menembus samar. Sehingga kurang cukup untuk menguapkan air.

Permukaan tambak terlihat seperti kaca tipis. Butiran garam kecil muncul tak beraturan, menandakan proses kristalisasi terhenti di tengah jalan.

Petambak tersebut sesekali menengadah ke arah langit, seolah tahu satu kali hujan bisa menghapus seluruh usahanya yang tersisa.

Bertahan

Berjarak sekitar 8 km dari Astanajapura, wilayah Pangenan di Cirebon menyimpan cerita serupa. Musim kemarau tahun ini tidak sepenuhnya kering.

Curah hujan yang turun hampir setiap bulan selama kemarau mengubah seluruh ritme produksi. Bahkan rob dari laut kerap merendam petakan garam di tepi pantai, yang sudah disiapkan sejak awal musim.

Ismail Marzuki, petani garam setempat, mengaku musim ini menjadi salah satu yang paling berat dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagian petambak di wilayah itu memilih membiarkan lahannya terbengkalai karena tidak ada hasil yang bisa dipanen meski modal sudah dikeluarkan.

“Musim ini bisa dibilang musim kemarau basah yang setiap bulannya itu selalu turun hujan. Sehingga produksi garam itu tidak bisa maksimal,” ungkap Ismail kepada ANTARA.

Jika cuaca cerah stabil sejak Juni hingga Oktober atau November, satu hektare tambak bisa menghasilkan hingga 150 ton garam. Namun ketika kemarau berlangsung singkat, realisasi produksi hanya setengah dari potensi ideal.

Metode produksi semi-modern untuk meningkatkan kualitas garam, seperti penggunaan plastik sebagai alas tambak, belum sepenuhnya diterapkan.

Banyak petambak justru memakai plastik mulsa yang lebih murah, padahal standar yang direkomendasikan adalah geomembran.

Satu gulungan geomembran hanya cukup untuk sepetak tambak besar, sementara plastik mulsa bisa mencakup beberapa petak.

Pada saat bersamaan, harga garam justru berada di angka yang menguntungkan, sekitar Rp2.000 per kg. Namun kondisi ini tidak dinikmati petambak karena mereka tidak memiliki stok untuk dijual.

Sistem pemasaran juga masih menjadi polemik yang pelik. Seluruh garam harus dijual melalui tengkulak.

Apabila ada pihak dari luar daerah yang ingin membeli garam di Pangenan, mereka tetap berhadapan dengan para tengkulak yang menguasai jalur distribusi.

Hingga kini, garam juga belum memiliki harga eceran tertinggi (HET), sehingga harga di tingkat petambak sepenuhnya diatur pengepul.

Menurut Ismail, perlu ada lembaga semacam badan usaha milik daerah (BUMD) yang bisa membeli garam langsung dari petambak, memberi harga lebih adil, dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak.

Upaya

Sejatinya upaya untuk mengangkat pamor pergaraman di Kabupaten Cirebon sudah bergeliat sejak beberapa tahun terakhir. Misalnya saja di kawasan Gunungjati.

Bergeser dari Pangenan, dengan jarak sekitar 26 km, ada pelaku usaha yang menyulap garam menjadi baku produk kesehatan dan kecantikan, bahkan dipakai pula untuk keperluan ruqyah.

Sosok tersebut adalah Septi Ariyani. Di tangan wanita asal Cirebon ini, garam dari hasil panen petambak bisa menjelma sebagai komoditas unggulan, bukan sekadar pelengkap masakan.

Kepada ANTARA, ia bercerita kiprahnya di dunia garam dimulai pada 2011 ketika bergabung sebagai petugas lapangan di Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon.

 Septi Ariyani saat menunjukkan produk berbahan dasar garam di Cirebon, Jawa Barat. ANTARA/Fathnur Rohman.

Waktu itu, dia membantu pelaksanaan program pengembangan usaha garam rakyat (Pugar) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bantuannya tidak dalam bentuk uang, tapi alat produksi penunjang tambak.

Kabupaten Cirebon memiliki potensi besar kala itu, dengan luas lahan garam mencapai sekitar 3.400 hektare dan lebih dari 700 kelompok petambak aktif.

Di awal program, kata Septi, produksi garam di Cirebon masih bersifat tradisional dengan kualitas rendah hanya mencapai kelas K2 atau K3. Produksi juga terbatas, satu hektare lahan cuma menghasilkan 40-60 ton.

Area tambak pun masih menggunakan dasar tanah, sehingga kadar natrium klorida (NaCl) di dalam garam tidak begitu tinggi.

Berangkat dari hal tersebut, KKP memperkenalkan berbagai inovasi, seperti penggunaan geomembran dengan tebal 200-300 mikron sebagai alas tambak. Terpal ini mencegah pencampuran air laut dengan tanah, sehingga kualitas garam bisa meningkat.

Tak semua bantuan berjalan sesuai harapan. Banyak petambak yang enggan menggunakan terpal karena berat dan dianggap merepotkan.

“Ada yang malah menjual bantuan terpal itu. Bantuan dari pemerintah sempat dialihkan ke daerah lain sebelum akhirnya kembali lagi,” kata dia.

Dari pengalamannya mendampingi petambak, Septi menemukan persoalan dalam tata niaga garam. Harganya saat itu hanya sekitar Rp200 per kg, sementara di tingkat konsumen mencapai Rp1.500 per kg.

Ia geram menyaksikan mata rantai distribusi garam yang tidak sehat, karena perbedaan harga begitu jauh. Program Pugar dari KKP berupaya menutup kesenjangan itu.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai membangun tunnel di kawasan Cirebon yang memungkinkan produksi tetap berjalan di musim hujan.

Menangkap peluang

Septi diminta mengumpulkan istri petambak garam untuk mengikuti program pemberdayaan dari KKP. Saat itu, mereka dilatih membuat produk turunan dari komoditas itu, salah satunya adalah bath bomb salt.

Ia pun akhirnya ikut belajar, bahkan menonton video tutorial di Youtube untuk membuat produk tersebut secara otodidak.

Meskipun punya gaji tetap dari pekerjaannya, Septi memantapkan niat untuk berhenti dari dinas. Sebab, dari pelatihan itu ia terinspirasi membangun usaha dengan modal sendiri.

Usai keluar dari dinas, Septi mencoba mengembangkan produk garam spa dan merekrut pekerja. Berkat jejaringnya di lingkungan pemerintahan daerah, ia rutin mempresentasikan barang hasil ciptaannya.

Septi memegang prinsip kualitas menentukan kepercayaan konsumen. Sehingga pemilihan bahan baku harus dilakukan secara teliti.

Untuk garam kosmetik, kadar NaCl minimal 93 persen, kandungan air 0,05 persen, dan harus bebas merkuri serta mikroba.

Ia menyeleksi bahan baku sejak tahap pencucian garam. Kemudian dilakukan mixing dengan essential oil, sesuai peruntukannya. Setelahnya produk dikemas dan dijual dengan berbagai ukuran.

Pada titik tersebut, Septi menemukan ritmenya dalam menjalankan bisnis di bidang garam. Ia lantas menyewa 25 hektare lahan tambak di Kartasura, Cirebon, dengan harga sewa Rp5 juta per hektare.

Saat itu, ia sempat berkelakar dan meyakini usahanya dapat berkembang. Namun, realitas di lapangan tak semudah rencana. Septi harus menghadapi berbagai persoalan sosial saat menggarap tambak tersebut.

Ia masih ingat betul pengalaman tak mengenakan yang dialaminya. Pernah suatu ketika saat musim panen tiba, jalan menuju tambaknya ditutup oleh orang tidak bertanggungjawab.

Padahal, jalan tersebut merupakan satu-satunya akses untuk mengangkut panen garam. Meski sempat bersitegang, Septi akhirnya memilih sabar.

Pada 2019, Septi memperoleh izin edar dari BPOM setelah melewati proses panjang. Lokasi usahanya sempat terkendala status tata ruang karena berada di kawasan wisata, bukan industri.

Persoalan itu bisa diatasi, setelah dirinya difasilitasi oleh pemerintah untuk mengantongi izin usaha mikro kecil (IUMK) dan kemudian membentuk badan usaha berbentuk CV.

Kini, produk miliknya mencakup 25 jenis dan sekitar 95 persen garam yang diperolehnya, dipasok untuk menyuplai kebutuhan industri pangan, perikanan, penyamakan kulit hingga pengeboran minyak.

Jaringan pemasarannya pun menjangkau Jakarta, Bandung, Kalimantan, Lampung, hingga pernah mengirim ke Aceh dan Papua.

Omzet bisnisnya pernah menyentuh angka tertinggi sekitar Rp100 juta. Namun saat pesanan sepi, keuntungan yang diperoleh masih lumayan, di kisaran Rp30 juta sampai Rp50 juta per bulan.

Ujian terberat datang pada 2020 hingga 2023, ketika terjadi kemarau basah yang membuat tambak gagal panen karena hujan turun di tengah musim panas.

Selama periode tersebut, Septi rela menghabiskan Rp600 juta untuk menyokong operasional produksi garam.

Sekarang, ia memilih fokus pada produksi skala kecil di rumahnya dengan dibantu lima tenaga kerja dan beberapa pekerja lepas. Aktivitas pembuatan produk dilakukan tiga kali.

Mengharumkan asa

Pengalaman Septi menarik perhatian banyak pihak, termasuk KKP. Septi sering diminta menjadi narasumber pelatihan di berbagai daerah untuk berbagi pengetahuan tentang cara meningkatkan nilai tambah garam.

Meski begitu, Septi mengakui pelatihan sering tidak berlanjut. Banyak peserta berhenti setelah kegiatan selesai.

Menurut dia, persoalannya ada pada pendampingan lanjutan, sehingga ke depan diharapkan ada sistem yang memastikan hasil pelatihan bisa menjadi usaha nyata.

Terlepas daripada itu, ia mengatakan perubahan besar terjadi beberapa tahun terakhir berkat program yang digulirkan pemerintah. Harga garam di tingkat petambak mulai membaik.

“Harga sekarang Rp2.000 per kg. Sebenarnya di angka Rp1.000 juga sudah menguntungkan bagi petani,” tuturnya.

Septi menyebutkan kebijakan dari pemerintah pusat terkait impor garam perlu diapresiasi. Sebab, hal tersebut menandakan nasib para petambak garam sangat diperhatikan, karena mereka tidak kehilangan pasarnya.

Kendati demikian, ia berharap pemerintah bisa membangun “rumah garam” di setiap daerah sentra komoditas tersebut.

Menurut dia, industri garam masih dikuasai pemain besar. Petambak dan pelaku kecil sering tidak punya ruang di pasar.

Dengan hadirnya rumah garam, mereka bisa memiliki merek sendiri dan memasarkan produk secara kolektif.

“Kalau punya rumah garam, semua produk bisa memakai label daerah. Orang Cirebon makan garam dari Cirebon sendiri,” katanya.

Ia percaya pemerintah pusat bisa menghadirkan pemerataan untuk sektor ini. Sehingga target swasembada garam bisa tercapai.

Genjot produksi

Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah penghasil garam rakyat di Jawa Barat. Bahkan aktivitas produksinya bisa dilacak sejak masa kesultanan hingga kolonial, sesusai arsip yang dihimpun ANTARA.

Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan masyarakat di pesisir Cirebon mayoritasnya bekerja sebagai nelayan yang menangkap ikan dan rebon atau udang kecil.

Kemudian, masyarakat mulai memanfaatkan kekayaan bahari untuk memproduksi bumbu khas seperti terasi. Lalu semakin berkembang ke pembuatan petis dan garam.

Pada 1937, koran berbahasa Belanda yakni De Locomotief melaporkan para pribumi diperkenalkan kebijakan briket garam kecil seberat 8-50 kati di Cirebon agar rakyat bisa membeli garam harga resmi. Penjualan melonjak dari 7.171 menjadi 32.829 paket.

Pada akhir 1938, hasil mulai tampak. Penjualan garam kecil di Cirebon naik dari 3.800 kg pada Oktober menjadi 4.300 kg pada November, sementara di pasar desa naik dari 5.500 menjadi 8.500 kg.

Di masa sekarang, Cirebon masih memiliki modal besar di sektor garam, karena memiliki garis pantai sepanjang 79,7 km dan 36 desa pesisir yang tersebar di delapan kecamatan, dengan 2.666 hektare potensi lahan garam.

Bupati Cirebon Imron mengatakan pemerintah daerah berkomitmen menjadikan sektor garam sebagai komoditas strategis, yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Pemerintah berfokus pada pembentukan sentra-sentra produksi, penyediaan sarana pendukung, serta memperbaiki akses jalan produksi di kawasan pesisir.

Selain fisik, pemerintah mulai mengembangkan pelatihan teknis dan kelembagaan agar petambak lebih mandiri. Koperasi garam rakyat diperkuat perannya.

Berkat berbagai program tersebut, produksi garam di Cirebon perlahan naik. Sebelumnya 5.368,56 ton pada 2021, menjadi 7.925,88 ton di tahun 2022.

Jumlah produksinya melonjak lagi sampai 116.490,25 ton pada 2023. Namun angkanya kembali turun menjadi 34.832,9 ton di tahun 2024. Kendati begitu, kondisi ini masih lebih baik.

Kabupaten Cirebon kini menapaki jalan menuju kemandirian garam rakyat yang modern dan berdaya saing, meski tantangan ke depan masih membentang begitu lebar.

Tags:    

Similar News