Pakar UGM nilai kebijakan Bahlil soal BBM swasta rugikan iklim investasi

Update: 2025-10-24 09:54 GMT

Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi 

Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, menilai kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang mewajibkan SPBU swasta membeli bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina berpotensi memunculkan dampak negatif terhadap iklim investasi dan pasar energi nasional.

Dalam Elshinta News and Talk edisi pagi, Jumat (24/10/2025), Fahmi mengatakan bahwa langkah Bahlil yang disertai ancaman agar SPBU swasta keluar dari Indonesia jika enggan membeli BBM dari Pertamina merupakan kebijakan yang tidak bijak dan dapat menimbulkan ketidakpastian usaha.

“Ancaman seperti itu tidak elok dilakukan oleh seorang menteri. Selain tidak menyelesaikan masalah, sikap tersebut bisa menimbulkan kesan bahwa dunia usaha di Indonesia tidak kondusif bagi investasi,” ujar Fahmi Radhi kepada News Anchor Asrofi.

Fahmi menjelaskan, persoalan utama yang menyebabkan sejumlah SPBU swasta mengalami kelangkaan BBM non-subsidi bukan semata karena lonjakan permintaan masyarakat, melainkan akibat kebijakan impor satu pintu oleh Kementerian ESDM yang mewajibkan SPBU swasta membeli BBM hanya dari Pertamina.

Menurutnya, SPBU swasta keberatan membeli dari Pertamina karena harga jualnya lebih tinggi dibandingkan jika mereka melakukan impor langsung dari sumber lain. “Margin keuntungan SPBU swasta itu kecil. Kalau mereka harus beli dari Pertamina, otomatis harga pokok penjualan meningkat dan margin makin tergerus,” jelasnya.

Fahmi menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan monopoli dan memperlihatkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip bisnis yang adil dalam konteks internasional. Ia juga menyinggung sejumlah kebijakan lain dari Menteri Bahlil yang dianggap blunder, seperti pelarangan penjualan LPG 3 kilogram secara eceran, izin tambang di Raja Ampat, serta kebijakan impor BBM satu pintu yang dinilai memberatkan pelaku usaha.

“Impor satu pintu itu hakikatnya bentuk monopoli. Kalau hanya Pertamina yang boleh impor, maka tidak ada kompetisi harga yang sehat dan konsumen bisa dirugikan,” ungkapnya.

Fahmi menambahkan, kebijakan tersebut justru bisa merugikan Pertamina karena menambah beban logistik dan penyimpanan akibat stok BBM yang tidak terserap oleh SPBU swasta. Sementara itu, ancaman Bahlil dinilai akan menciptakan ketidakpastian hukum dan membuat investor ragu menanamkan modal di Indonesia.

“Kalau aturan bisa berubah tiba-tiba dan disertai ancaman, investor akan berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Indonesia,” tegasnya.

Fahmi juga menduga kebijakan pemusatan impor melalui Pertamina mungkin terkait dengan kesepakatan perdagangan migas antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk mendapatkan keringanan pajak. Namun, ia menilai Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan motif di balik kebijakan tersebut karena berdampak langsung pada publik.

“Kalau kebijakan ini terkait kesepakatan impor dari Amerika untuk mendapatkan keringanan pajak, pemerintah harus terbuka. Ini kebijakan publik, bukan urusan internal,” ujarnya.

Di akhir wawancara, Fahmi menegaskan bahwa dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah perlu menghindari kebijakan koersif dan lebih fokus pada penciptaan iklim usaha yang sehat, transparan, dan berkeadilan.

“Kalau cara-cara seperti itu terus diterapkan, sulit bagi Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang mendorong dunia usaha tumbuh tanpa tekanan,” pungkasnya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Tags:    

Similar News