Perlindungan pesisir bukan sekadar tanggul laut raksasa

Update: 2025-11-22 04:50 GMT

Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan terobosan untuk melindungi Pulau Jawa dari ancaman tenggelam. Pemerintah berupaya melindungi kawasan pesisir pantai utara (pantura) Pulau Jawa dari ancaman banjir, abrasi, penurunan muka tanah, dan kenaikan muka air laut.

Kini memang sebagian wilayah terutama Jakarta, Semarang, Demak telah kehilangan sebagian tanah di pesisir bagian utara akibat air laut semakin masuk ke daratan. Semestinya pemerintah telah bertindak melindungi pesisir pantura Pulau Jawa sejak 10—20 tahun silam.

Prabowo lantas mengambil langkah cepat mengejar keterlambatan bertindak dengan membentuk Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa (BOPPJ) pada penghujung Agustus 2025. Badan tersebut rencananya akan mengeksekusi gagasan pembangunan giant sea wall alias tanggul laut raksasa sebagai solusi utama. Secara filosofis upaya pemerintah melindungi pesisir pantai wajib didukung.

Namun, ketika sebagian pejabat pemerintah, media, maupun publik luas berupaya menggeser istilah BOPPJ menjadi sempit dengan menyebutnya menjadi Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Jawa, maka harus ditolak.

Penyebutan badan otoritas sebagai lembaga khusus yang hanya menangani proyek tanggul laut raksasa hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah berfokus pada satu pendekatan besar untuk membangun tembok raksasa menahan laut.

Gagasan ini tentu bakal memanen gelombang penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi lingkungan, terutama karena proyek tersebut dipersepsikan publik sebagai solusi tunggal yang mahal, tertutup, dan kurang memperhatikan kompleksitas kawasan pesisir Indonesia.

Persoalan melindungi pantai bukan sekadar persoalan konstruksi fisik, tetapi memerlukan kerangka pikir yang utuh dengan menghindari solusi berupa single method solution.

Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang dengan karakter geomorfologi yang berbeda-beda, delta lumpur yang dinamis, pesisir berkarang, kawasan mangrove yang produktif, hingga kota-kota besar dengan penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah.

Dengan keragaman tersebut, perlindungan pesisir mustahil dipaksakan dalam satu format raksasa yang seragam. Pantura membutuhkan perlindungan dengan pendekatan yang memadukan rekayasa struktur, solusi berbasis alam, pengelolaan sedimen, dan tata kelola ruang secara terpadu.

Sayangnya, pesan ini sering hilang dalam debat publik karena istilah yang digunakan pemerintah justru menyempitkan makna perlindungan pesisir hanya menjadi soal tembok besar. Negara-negara yang berhasil mengendalikan risiko pesisir seperti Belanda, Jepang, Bangladesh, atau Vietnam semuanya menerapkan coastal protection berlapis.

Negara tersebut mengombinasikan tanggul, sabuk hijau mangrove, pengaturan tata air, pemulihan lahan basah, serta manajemen pemompaan air tanah.

Lebih kaya

Indonesia sejujurnya memiliki modal ekologi jauh lebih kaya, tetapi diskursus publik dan kebijakan masih berputar pada struktur beton sebagai ikon perlindungan.

Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pesisir sering kali bermula dari degradasi wilayah daratan seperti berkurangnya sedimen akibat perubahan tata guna lahan, hilangnya fungsi infiltrasi tanah, konversi lahan basah, hingga penurunan tanah karena ekstraksi air tanah berlebihan.

Dengan kata lain, ketangguhan pertahanan pesisir ditentukan bukan hanya oleh struktur beton yang menghadap laut, tetapi juga oleh kesehatan tanah dan lanskap di belakangnya. Dalam konteks ini, penggunaan terminologi oleh pemerintah memegang peranan strategis. Istilah giant sea wall bukan hanya teknis, tetapi juga rawan digoreng secara politis.

Terminologi tersebut membangun citra bahwa hanya ada satu solusi berupa tembok raksasa yang mengabaikan ruang dialog tentang berbagai alternatif yang lebih adaptif. Tembok besar terkesan sesuatu yang menakutkan, mahal, dan berpotensi menggusur ruang hidup masyarakat.

Mungkin hal tersebut yang menyebabkan resistensi dari masyarakat sipil muncul. Padahal pemerintah dapat saja menggunakan istilah yang lebih luas, misalnya “perlindungan pesisir terpadu” atau “strategi adaptasi pesisir berlapis”.

Dengan terminologi yang lebih inklusif, pemerintah dapat menjelaskan bahwa program ini bukan hanya pembangunan struktur keras, tetapi juga mencakup rehabilitasi mangrove secara masif, meminimalkan ekstraksi air tanah, pemulihan polder, pengaturan ruang kota, hingga pengelolaan sedimen di delta dan muara sungai.

Dengan cara komunikasi yang tepat, masyarakat dapat melihat niat baik Pemerintah Prabowo yang menawarkan paket kebijakan komprehensif, bukan sekadar resep tunggal tembok raksasa. Kegagalan pemerintah mengelola terminologi dapat juga berdampak pada persepsi publik mengenai partisipasi. Banyak masyarakat sipil merasa proyek GSW terlalu tertutup tanpa memberi ruang bagi masukan warga.

Tentu semua sepakat melibatkan masyarakat sejak awal adalah kunci keberhasilan coastal protection. Ketika warga memahami perlindungan pesisir mencakup kombinasi rekayasa alam dan struktur, serta memerlukan perubahan perilaku bersama seperti minimalisasi pengambilan air tanah atau pengendalian tata ruang, dukungan dapat datang lebih mudah.


Strategi pertahanan pesisir

Di banyak negara, masyarakat justru menjadi aktor utama restorasi mangrove, pemulihan lahan basah, dan sistem polder berbasis komunitas. Indonesia memiliki modal sosial yang besar untuk melakukan hal serupa jika ruang tersebut dibuka selebar-lebarnya.

Pemilihan terminologi menentukan bagaimana pemerintah dapat menjelaskan urgensi dan manfaat dari pendekatan berlapis. Misalnya, di kawasan dengan penurunan tanah ekstrem, tanggul memang diperlukan, tetapi hanya efektif jika disertai pengurangan ekstraksi air tanah, pemulihan sedimen, dan peningkatan infiltrasi di wilayah hulu.

Di kawasan pesisir yang masih memiliki ekosistem mangrove yang sehat, justru restorasi alam lebih efektif ketimbang membangun struktur beton. Kebijakan tersebut dapat diterima publik jika pemerintah menggunakan istilah yang menempatkan solusi sebagai rangkaian kebijakan, bukan satu proyek tunggal.

Pada akhirnya, Indonesia membutuhkan strategi pertahanan pesisir yang benar-benar menyeluruh, adaptif, dan berbasis sains.

Setelah struktur badan otorita terbentuk dengan para personalia yang memadai, idealnya badan otorita segera melakukan zonasi atau segmentasi garis pantai berdasarkan pertimbangan geomorfologi untuk menentukan solusi yang tepat di setiap zona dan segmen pantai yang spesifik.

Pada akhirnya ancaman perubahan iklim yang semakin nyata tidak dapat diselesaikan dengan satu proyek yang simbolik. Pemerintah perlu mengubah narasi dari sekadar pembangunan “giant sea wall” menjadi “upaya perlindungan pesisir terpadu” yang menggabungkan kekuatan ekologi, teknologi, dan tata kelola ruang.

Dengan istilah yang tepat, proses yang transparan, serta kebijakan yang berlapis dari hulu hingga hilir, dukungan masyarakat dapat terbangun.

Coastal protection adalah proyek generasi panjang yang keberhasilannya ditentukan oleh kemauan Bangsa Indonesia membangun narasi yang benar sejak awal. Selamat mengawal perlindungan pantura Jawa Presiden Prabowo!

Similar News