Saksi ahli perkara Prada Lucky bicara pembinaan atasan-bawahan di TNI
Sidang lanjutan kasus Prada Lucky di Pengadilan Militer III-15 Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (18/11/2025) (ANTARA/Anwar Maga)
Deddy Manafe selaku saksi ahli pidana militer berbicara soal pola pembinaan atasan terhadap bawahan dalam tubuh TNI, saat dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus tewasnya Prada Lucky Namo usai dianiaya seniornya, di Pengadilan Militer III-15 Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa.
Sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi ini menghadirkan 17 orang terdakwa yang dikelompokkan dalam satu berkas perkara. Sidang ini dipimpin oleh Mayor Chk Subiyanto selaku ketua majelis hakim, yang didampingi dua orang hakim anggota masing-masing Kapten Chk Denis C. Napitupulu, dan Kapten Chk Zainal Arifin A. yulianto.
Dari pihak Oditur Militer, dihadiri Letkol Chk Alex Pandjaitan, dan Letkol Chk Yudis Harto, dan juga dihadiri penasehat hukum terdakwa masing-masing Mayor chk Gatot Subur, dan Letda Chk Benny Suhendra Las Baun. Menurut Deddy, hubungan antara atasan dan bawahan di lingkungan TNI memiliki batasan kewenangan yang sangat jelas berdasarkan Undang-undang TNI dan Undang-undang Disiplin Militer.
Tugas pokok atasan bukan hanya memimpin, tetapi melakukan pembinaan personel, memastikan kepatuhan hukum, hingga kesejahteraan anggotanya, serta tidak sewenang-wenang dalam menggunakan kewenangannya. Deddy menyebut pembinaan personel harus didasari asas manfaat, seperti hukuman push up atau lari sekian meter, namun tidak berarti pembinaan bernuansa tindak kekerasan, apalagi mengakibatkan kehilangan nyawa.
"Tentu ada perbedaannya pembinaan keras dan tindak kekerasan, dan hal ini ada kaitannya dengan manfaat dari pola pembinaan atasan ke bawahan. Kalau dihukum push up atau lari tentu akan bermanfaat bagi pembentukan fisik anggota TNI," ujarnya dalam persidangan terbuka yang juga disaksikan orangtua dan kerabat Prada Lucky.
Menurut Deddy, relasi antara atasan dan bawahan di TNI mencakup dua komponen besar, yaitu hak dan kewenangan untuk memimpin serta membina, termasuk dalam memberikan hukuman kepada bawahan. Namun, tidak diperkenankan menyalahgunakan kewenangan seperti penganiayaan, penyiksaan dan lainnya.
Sementara bawahan memiliki kewajiban untuk taat kepada atasan, baik berdasarkan struktur resmi komando maupun senioritas, terutama yang berkaitan dengan uraian tugas.
"Relasi atasan dan bawahan itu jelas. Atasan punya kewenangan, tetapi juga ada batas yang tidak boleh dilampaui. Pembinaan tetap harus berada dalam koridor hukum," ujar Deddy saat menjawab pertanyaan penasihat hukum terdakwa.
Penjelasan saksi ahli ini juga sempat diungkapkan dalam sidang pemeriksaan saksi pada sidang sebelumnya yakni Senin (17/11/2025) dengan terdakwa Lettu Inf Ahmad Faisal selaku Komandan Kompi A (atasan langsung Prada Lucky).
Perkara dugaan penganiayaan berat yang berujung tewasnya Prada Lucky Namo itu melibatkan 22 orang terdakwa yang dikemas dalam tiga Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yakni BAP seorang terdakwa, BAP 17 orang terdakwa, dan BAP empat orang terdakwa.
Sidang lanjutan akan digelar pada Rabu (19/11), masih dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi pada perkara empat terdakwa.
Prada Lucky dianiaya seniornya di Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere di Kabupaten Nagekeo Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 27 Juli 2025. Ia sempat dirawat di puskesmas kemudian dirujuk ke rumah sakit hingga menghembuskan nafas terakhir pada 6 Agustus 2025.
Sedangkan pola pembinaan keras yang berujung korban tewas itu disebut-sebut berkaitan dengan dugaan penyimpangan seksual (LGBT) yang melibatkan Prada Lucky, namun belum didukung bukti otentik.