Wamenkum: RI dorong instrumen hukum royalti digital dengan kolaboratif
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan Indonesia mendorong inisiatif instrumen hukum internasional dalam tata kelola royalti digital dengan semangat kolaboratif.
Dalam pertemuan dengan para duta besar dan perwakilan negara di Jakarta, Selasa (16/12), ia menyampaikan persoalan royalti digital bukan hanya isu teknis, melainkan isu ekonomi global yang menuntut negara-negara bekerja bersama.
“Kami ingin bekerja konstruktif dengan semua mitra, baik yang telah menyampaikan dukungan, memberikan panduan, maupun masih memerlukan pemahaman terhadap elemen-elemen Proposal Indonesia," kata pria yang akrab disapa Eddy tersebut, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Maka dari itu, dirinya menilai tantangan ekonomi dalam industri musik digital harus dihadapi dengan dialog dan kemitraan yang terbuka. Dia mengatakan tantangan ketimpangan ekonomi dalam industri musik digital semakin nyata pada era ketika distribusi dan konsumsi karya tidak lagi mengenal batas negara.
Wamenkum menyebutkan fragmentasi data, aliran royalti lintas yurisdiksi, serta pertumbuhan ekonomi streaming yang tidak merata menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam tata kelola global.
Menyikapi kondisi tersebut, Indonesia telah memperkenalkan inisiatif instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat dalam tata kelola royalti digital bernama Proposal Indonesia pada Sidang Komite Tetap Hak Cipta dan Hak Terkait (SCCR) Ke-47 di Jenewa, Swiss, pada 1–5 Desember 2025.
Sebagai tindak lanjut, kata dia, Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan dengan para duta besar dan perwakilan negara untuk memperdalam dialog dan menyampaikan perkembangan dukungan internasional terhadap inisiatif itu.
"Pertemuan menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperluas pemahaman bersama mengenai urgensi instrumen global yang mampu menjawab tantangan industri kreatif di era digital," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Hermansyah Siregar menyebut kerangka Proposal Indonesia lahir dari kesadaran bahwa sistem saat ini belum mampu mengimbangi dinamika sektor kreatif.
Meskipun industri musik global mengalami pertumbuhan, kata dia, kesenjangan nilai dan royalti yang tidak terdistribusikan secara adil masih terjadi dalam skala besar.
“Proposal ini diajukan sebagai respons proaktif Indonesia untuk mengisi kekosongan regulasi global, memastikan mekanisme pembayaran yang akuntabel, adil, dan transparan bagi para kreator, serta memanfaatkan potensi ekonomi dari royalti digital secara maksimal,” kata Hermansyah dalam kesempatan yang sama.


