Kebijakan pupuk Indonesia soal keluarga Direksi picu sorotan publik
Kebijakan Pupuk Indonesia yang izinkan keluarga direksi ikut dinas menuai sorotan publik karena dinilai berpotensi konflik kepentingan dan lemah tata kelola.
Radio Elshinta/ ADP
JAKARTA – Kebijakan PT Pupuk Indonesia (Persero) terkait keikutsertaan pasangan direksi dalam kegiatan perjalanan dinas menuai perhatian publik. Hal ini muncul setelah beredar dokumen internal perusahaan yang memperbolehkan suami atau istri direksi mendampingi dalam perjalanan resmi.
Padahal, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri BUMN, Dony Oskaria, sebelumnya telah menekankan pentingnya menjaga profesionalisme di lingkungan BUMN, termasuk dengan melarang keterlibatan istri direksi dalam urusan perusahaan. Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari upaya reformasi budaya kerja dan peningkatan tata kelola.
Surat edaran internal Pupuk Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur SDM dan Umum, Tina T. Kemala Intan, dinilai sebagian pihak tidak sejalan dengan semangat tersebut. Publik menilai hal ini dapat menimbulkan persepsi kurang baik terhadap transparansi dan akuntabilitas di tubuh BUMN.
Nama istri Direktur Utama Pupuk Indonesia, Kuntari Laksmitadewi Wahyuningdyah, juga ikut menjadi sorotan. Selain kerap mendampingi suaminya dalam perjalanan dinas ke luar negeri, Kuntari tercatat masih berstatus sebagai karyawan aktif di perusahaan. Sejumlah pengamat menilai hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sehingga perlu dikaji lebih lanjut sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia, Trubus Rahadiansyah, menilai penting adanya evaluasi terhadap kebijakan internal perusahaan. “Hal-hal seperti ini harus dicermati secara menyeluruh agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, terlebih menyangkut integritas manajemen BUMN,” ujarnya.
Sorotan publik terhadap kebijakan ini juga muncul di tengah tren penurunan kinerja keuangan Pupuk Indonesia. Laporan keuangan 2023 mencatat laba bersih turun 66,2% menjadi Rp 6,25 triliun, dari Rp 18,51 triliun pada 2022. Manajemen menjelaskan penurunan dipengaruhi oleh harga komoditas global dan kenaikan biaya bahan baku, terutama gas alam.
(ADP)