Prof. Connie soroti peluang dan risiko BRICS+ bagi negara Non Blok
Perubahan lanskap geopolitik global kian dipengaruhi oleh dinamika sumber daya strategis, khususnya mineral tanah jarang (rare earth elements/REE) yang menjadi kunci bagi teknologi modern.
Sumber foto: http://surl.li/fbtkvw/elshinta.com.
Perubahan lanskap geopolitik global kian dipengaruhi oleh dinamika sumber daya strategis, khususnya mineral tanah jarang yang menjadi kunci bagi teknologi modern. Dalam laporannya yang dipublikasikan di forum Valdai yang terbaru, Professor Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan bahwa berkembangnya blok kerja sama BRICS menjadi BRICS+ tidak hanya memperluas ruang ekonomi global. Tetapi juga menghadirkan peluang dan risiko baru bagi negara-negara yang dulu tergabung dalam Gerakan Non Blok (GNB).
"Rare earth materials telah menjadi tulang punggung industri berteknologi tinggi. Mulai dari energi terbarukan, kendaraan listrik, hingga sistem militer canggih,” kata Prof. Connie dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Menurut orang Indonesia yang menjadi Guru Besar Universitas St.Petersburg itu, akses terhadap mineral langka ini bukan hanya persoalan ekonomi. Tetapi juga soal keamanan nasional.
Posisi Tiongkok sangat dominan dalam rantai pasok ini. Dengan menguasai lebih dari 60 persen produksi dan sekitar 90 persen kapasitas pemrosesan global, Beijing dinilai telah secara efektif juga melakukan kartelisasi pasar.
Dampaknya, negara-negara lain sangat bergantung pada pasokan yang bisa dijadikan alat tawar-menawar politik maupun ekonomi. Bagi negara-negara non blok, dominasi semacam ini menimbulkan dilema.
"Pertama, mereka menghadapi risiko gangguan pasokan dan volatilitas harga yang dapat berdampak buruk pada industri domestik dan keamanan nasional. Kedua, negara-negara ini justru berpotensi bergabung atau bahkan membentuk kartel alternatif untuk menyeimbangkan dominasi BRICS+,” kata Prof. Connie yang juga dikenal sebagai pakar pertahanan asal Indonesia tersebut.
Dengan kata lain, negara-negara Non-Blok harus memilih antara tetap berpegang pada prinsip tradisional non-alignment yang cenderung membela atau tergabung di poros politik tertentu. Atau secara pragmatis menyesuaikan diri dengan logika geopolitik baru yang berbasis pada sumber daya.
Indonesia dan Strategi “Multi-Alignment Parsial”
Indonesia disebut sebagai salah satu contoh menarik dalam dinamika ini. Menurut Prof. Connie, Indonesia saat ini tengah menjalankan strategi “partial multi-alignment” dengan mengejar keanggotaan di BRICS sekaligus OECD.
Tujuannya adalah meraih peluang ekonomi tanpa mengorbankan otonomi politik. Langkah ini mencerminkan upaya Indonesia untuk menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan pada saat yang sama memperkuat posisi dalam kerja sama Selatan-Selatan.
Sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yang juga masuk kategori mineral rare earth Indonesia memiliki potensi strategis. Ini untuk menjadi pemain penting dalam kartelisasi atau konsorsium sumber daya di masa depan.