Pimpinan BAZNAS RI paparkan pentingnya pola pikir tepat dalam pengelolaan Zakat

Pimpinan BAZNAS RI Bidang Transformasi Digital Nasional, Prof. Ir. Nadratuzzaman Hosen, MS., M.Ec., Ph.D., menekankan pentingnya membangun pola pikir yang tepat dalam pengelolaan zakat. Pola pikir dinilai berperan besar dalam menentukan strategi, kebijakan, hingga dampak zakat bagi masyarakat.

Update: 2025-09-04 11:10 GMT

Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.

Pimpinan BAZNAS RI Bidang Transformasi Digital Nasional, Prof. Ir. Nadratuzzaman Hosen, MS., M.Ec., Ph.D., menekankan pentingnya membangun pola pikir yang tepat dalam pengelolaan zakat. Pola pikir dinilai berperan besar dalam menentukan strategi, kebijakan, hingga dampak zakat bagi masyarakat.

Hal tersebut mengemuka dalam forum Management Upgrade dengan tema "Tujuh Gaya berpikir" yang diselenggarakan oleh Pusdiklat di Gedung BAZNAS RI, Jakarta, dan disiarkan melalui kanal YouTube BAZNAS TV pada Rabu (3/9/2025). Hadir sebagai narasumber Pimpinan BAZNAS RI Bidang Transformasi Digital Nasional, Prof. Ir. Nadratuzzaman Hosen, MS., M.Ec., Ph.D., serta diikuti oleh para amil dari BAZNAS provinsi, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia.

“Kita menyadari bersama bahwa cara atau pola berpikir itu penting. Ada pola-pola berpikir yang relevan, baik dalam dunia ilmiah maupun dalam konteks zakat. Cara berpikir inilah yang memengaruhi perilaku dan keputusan, termasuk dalam merespons situasi ekonomi, strategi penghimpunan zakat, hingga prioritas pendistribusian,” ujar Nadratuzzaman.

Ia menyebut, ada tujuh pola berpikir yang relevan untuk dipraktikkan, yakni critical thinking, analytical thinking, abstract thinking, creative thinking, concrete thinking, convergent thinking, dan divergent thinking. Setiap pola berpikir, kata dia, dapat menjadi instrumen penting dalam menyusun strategi yang tepat bagi lembaga maupun individu.

Berpikir kritis, menurutnya, menjadi salah satu aspek mendasar yang juga dianjurkan dalam Al-Qur’an. “Dalam Surah Ali Imran disebutkan bahwa manusia diajak berpikir kritis, mempertanyakan segala sesuatu, dan mencari bukti sebelum mengambil keputusan,” jelasnya.

Namun, ia mengatakan, budaya berpikir kritis sering dianggap oleh sebagian orang mengganggu, baik di lingkungan kerja maupun sosial. “Padahal, justru melalui kritik yang sehat, BAZNAS bisa memperbaiki strategi penghimpunan zakat dan meningkatkan kepercayaan publik,” tambahnya.

Selain itu, kata Nadratuzzaman, analytical thinking atau berpikir analitis sangat dibutuhkan dalam mengurai persoalan pengelolaan yang kompleks menjadi bagian kecil. Menurutnya, pola ini dibutuhkan dalam pengelolaan zakat agar keputusan diambil berbasis data dan analisis sebab-akibat.

Sementara itu, lanjut Nadratuzzaman, abstract thinking juga diperlukan untuk membaca tren zakat ke depan. “Dengan pandangan abstrak, BAZNAS dapat merancang program jangka panjang yang relevan dengan perubahan zaman,” ujarnya.

Dalam hal inovasi, ia menekankan perlunya creative thinking. “Lembaga atau organisasi harus menumbuhkan iklim kreatif agar menghasilkan terobosan nyata, bukan sekadar mengikuti pola lama,” tegas Nadratuzzaman.

Ia juga menyoroti concrete thinking yang berfokus pada capaian jangka pendek. Contohnya, BAZNAS menetapkan minimal 80 persen dana zakat yang dihimpun harus segera disalurkan setiap tahun. “Itu orientasi konkret yang memastikan zakat segera dirasakan manfaatnya,” jelasnya.

Sementara itu, kata dia, convergent thinking diperlukan dalam pengambilan keputusan strategis. “Pemimpin BAZNAS harus bisa memilih opsi terbaik di antara banyak alternatif, dengan mempertimbangkan plus minusnya. Ini agar keputusan benar-benar efektif,” tambahnya.

Terakhir, ia menyampaikan, divergent thinking atau berpikir divergen dipandang penting sebagai pemicu inovasi, meskipun lemah dalam eksekusi. “Pemikir divergen kaya ide, dan ide itu tetap berharga. Yang dibutuhkan kemudian adalah eksekutor yang mampu mewujudkannya,” ungkapnya.

Selain tujuh pola berpikir tersebut, Nadratuzzaman mengaitkan istilah ilmiah seperti postulat, aksioma, dalil, teori, asumsi, paradigma, dan mindset dengan pengelolaan zakat. Menurutnya, jika cara berpikir ilmiah ini dipadukan dengan nilai-nilai syariah, zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban ibadah, tetapi juga instrumen pembangunan nasional.

"Perbedaan- perbedaan diantara kita ini mempengaruhi cara berpikir kita semua. Sekarang, bagaimana kita bisa memanfaatkan perbedaan tersebut di tempat yang tepat," ucapnya.

Tags:    

Similar News