Sidang sengketa tambang nikel, saksi disebut tidak paham fakta lapangan

Sidang lanjutan sengketa tambang nikel di Halmahera Timur yang melibatkan PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (1/10).

Update: 2025-10-02 05:40 GMT

Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.

Sidang lanjutan sengketa tambang nikel di Halmahera Timur yang melibatkan PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (1/10). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah XVI Ambon, Plaghelmo Seran, sebagai saksi.

Sidang sempat mengalami keterlambatan lebih dari enam jam. Setelah majelis hakim hadir, persidangan bahkan ditunda beberapa saat sebelum akhirnya dipindahkan ke ruang sidang lain.

Dalam persidangan, saksi yang dihadirkan JPU kembali dinilai tidak konsisten memberikan keterangan. Beberapa jawaban yang tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak dapat dijelaskan secara rinci, terutama terkait legalitas dan aktivitas PT WKM di lokasi tambang.

Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, menilai keterangan saksi tidak sesuai fakta dan terkesan berbelit.

“Majelis hakim sendiri sempat menyindir bahwa saksi ini kadang ingat, kadang lupa. Ini jadi seperti buang-buang waktu saja,” ujar Rolas kepada wartawan usai sidang.

Majelis hakim juga menanyakan apakah saksi pernah melihat langsung lokasi perkara di Halmahera Timur.

“Pertanyaan kami, saudara sudah pernah ke tempat kejadian perkara yang sebenarnya?” tanya hakim.

“Belum pernah,” jawab saksi.

Jawaban itu dinilai kuasa hukum memperlemah kesaksian karena tidak berbasis pada pengamatan lapangan.

Soroti Pembayaran Hasil Hutan Kayu

Sidang juga menyoroti pembayaran hasil hutan kayu yang digunakan PT Position untuk pembangunan jalan koridor menuju pabrik. Menurut Rolas, seharusnya setiap penebangan kayu memiliki izin jelas dari pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan tercatat dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Namun, saksi tidak dapat memastikan apakah kayu hasil penebangan di jalur sepanjang 11 kilometer itu telah dibayar kepada negara.

“Bayangkan, sepanjang jalan 11 kilometer dibuka, tapi saksi tidak tahu apakah kayunya sudah dibayar, apakah izinnya ada atau tidak. Ini jelas berpotensi merugikan negara,” katanya.

Ia menambahkan, saksi juga tidak dapat menjelaskan batas kewenangan antara perusahaan pemegang izin hutan dengan PT Position.

“Harusnya saksi tahu, apakah pembukaan jalan itu masuk dalam RKT tahun tertentu, misalnya 2005 atau 2010. Tapi jawabannya tidak jelas, padahal itu inti perkara,” ujarnya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Kamis (2/10). 

Dugaan Perambahan Hutan

Rolas menilai lemahnya keterangan saksi justru memperkuat dugaan adanya perambahan hutan. Ia merujuk pada temuan tim Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Seksi II Ambon yang mencatat lebar jalan di lokasi mencapai lebih dari 100 meter, padahal aturan hanya memperbolehkan sekitar 40 meter.

“Kalau memang jalan itu dibuka tanpa dasar RKT, maka jelas ada perambahan. Ini salah satu kejahatan kehutanan paling serius setelah korupsi uang negara,” kata Rolas menegaskan.

Perbedaan Pandangan Antarinstansi

Persidangan juga menyingkap adanya perbedaan pandangan antarinstansi pemerintah. Saksi dari balai kehutanan menyebut pembangunan jalan tidak memerlukan aturan tambahan, sedangkan pihak dinas sebelumnya menegaskan harus ada izin khusus.

“Hal ini membingungkan masyarakat sekaligus membuka celah hukum. Padahal hutan kita adalah tanggung jawab negara,” tambah Rolas.

Sidang Pidana terkait sengketa patok tambang nikel ini akan kembali dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.

Tags:    

Similar News