KLH tegaskan perusahaan wajib tanggung biaya dekontaminasi Cesium-137

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan seluruh perusahaan di kawasan industri yang terdampak kontaminasi radioaktif Cesium-137 di Cikande, Kabupaten Serang, Banten wajib menanggung biaya dekontaminasi sesuai prinsip polluters pay principle atau pencemar membayar.

Update: 2025-10-17 12:30 GMT

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan seluruh perusahaan di kawasan industri yang terdampak kontaminasi radioaktif Cesium-137 di Cikande, Kabupaten Serang, Banten wajib menanggung biaya dekontaminasi sesuai prinsip polluters pay principle atau pencemar membayar.

Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Irjen Pol Rizal Irawan menyatakan bahwa tanggung jawab itu bersifat mutlak dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Prinsipnya polluters pay principle. Siapa yang melakukan pencemaran atau polusi, dia yang bertanggung jawab. Ada strict liability di situ, tanggung jawab mutlak yang diatur dalam undang-undang,” katanya di Serang, Jumat.

Ia menegaskan pembiayaan dekontaminasi bukan merupakan sumbangan atau tanggung jawab negara. “Jangan salah paham, ini bukan sumbangan. Siapapun yang melakukan polusi, dia yang harus bertanggung jawab,” ujar Rizal.

Menurutnya, perusahaan yang berada di area terkontaminasi telah diperintahkan melakukan dekontaminasi secara mandiri.

“Mereka diperintahkan untuk melakukan dekontaminasi masing-masing dan biayanya mereka yang bayar sendiri. Jadi, tidak ada ke kita, silakan mereka mandiri,” ujarnya.

Rizal menjelaskan meskipun pelaksanaan di lapangan melibatkan tim teknis, seperti Gugana, Nubika TNI, Bapeten, dan BRIN, pembiayaan seluruh bahan dan peralatan tetap menjadi kewajiban pihak industri.

“Mereka menyediakan sendiri perlengkapannya, karena itu menggunakan bahan khusus yang tidak murah. Itu bukan tanggung jawab negara,” katanya.

Ia membedakan tanggung jawab antara pihak industri dan warga terdampak. “Kalau masyarakat, itu tanggung jawab negara. Tapi, kalau di area pabrik, perusahaan lah yang wajib menanggung sesuai prinsip polluters pay,” tegasnya.

Rizal menegaskan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) menunjukkan indikasi kuat bahwa sumber kontaminasi berasal dari PT PMT.

“Pabrik-pabrik lain bukan penyebab, beda dengan PMT. Di PMT kami menemukan sumbernya di tungku proses dan area bahan baku. Ada indikasi kuat penyebab kontaminasi berasal dari sana,” ujarnya.

Sementara itu, perusahaan lain seperti PT Jongka Indonesia disebut sebagai korban dari penyebaran kontaminasi. “Kalau PT Jongka ini termasuk korban,” ujar Rizal.

Terkait dugaan bahan baku impor sebagai sumber kontaminasi, ia menyebut bahwa data sementara menunjukkan bahan logam berasal dari dalam negeri. “Dari data kami, PMT tidak melakukan impor. Bahan yang digunakan berasal dari dalam negeri,” katanya.

Rizal menambahkan Polri melalui Bareskrim masih menelusuri asal bahan logam yang terkontaminasi. “Soal impor atau asal bahan logam, nanti Bareskrim yang menjelaskan. Prosesnya masih berjalan, sabar saja,” katanya.

Selain penanganan teknis di area industri, KLH bersama BRIN juga memetakan zona merah dan zona kuning di sekitar wilayah terdampak.

“Setiap zona perlakuannya berbeda. Sekarang masih di zona merah, ada 22 kepala keluarga yang disarankan untuk relokasi dan mereka sudah bersedia,” ujar Rizal.

Ia menjelaskan bahwa zona merah dan kuning tidak ditentukan berdasarkan radius tunggal, tetapi pada titik-titik dengan temuan kontaminasi aktif. “Ada beberapa titik zona merah dan zona kuning. Radiusnya berbeda-beda, karena ada sekitar tiga titik yang kita temukan,” tuturnya.

Rizal menegaskan pemerintah akan terus memastikan proses dekontaminasi berjalan sesuai prosedur hukum lingkungan dan tidak membebani keuangan negara.

“Polusi di kawasan industri adalah tanggung jawab industri. Prinsipnya sederhana, siapa yang mencemari, dia yang membersihkan,” tegasnya.

Tags:    

Similar News