Korban mafia tanah jadi tersangka, Ketua KUD minta perlindungan Prabowo
Presiden Prabowo Subianto diharapkan dapat secara serius memberantas mafia tanah yang masih marak terjadi di beberapa daerah, termasuk Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Presiden Prabowo Subianto diharapkan dapat secara serius memberantas mafia tanah yang masih marak terjadi di beberapa daerah, termasuk Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebuah ironi hukum mencuat di Kabupaten Bekasi, alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan setelah menjadi korban mafia tanah, sejumlah pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Nugraha justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Bekasi. Padahal, bukti-bukti mengarah pada dugaan pemalsuan tanda tangan dan dokumen resmi dalam proses berpindah tangannya tanah milik koperasi tersebut.
"Melihat adanya dugaan kuat kriminalisasi, pengurus KUD Nugraha meminta perlindungan hukum kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto agar mafia tanah benar-benar diberantas sesuai komitmen pemerintah," kata Ketua KUD Nugraha, Muhammad Haikal kepada wartawan, Jumat (26/9/2025).
Haikal juga meminta agar Menkopolkam dapat menghentikan kriminalisasi terhadap korban mafia tanah. Selain itu, Jaksa Agung melalui Satgas Mafia Tanah perlu menindak para pelaku pemalsuan dokumen. Kemudian, Kapolri, Kadiv Propam Polri, dan Kapolda Metro Jaya perlu didorong untuk memeriksa dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh oknum penyidik Polres Metro Bekasi. Kompolnas RI dan Ombudsman RI, diharapkan bisa mengawasi proses hukum yang terindikasi tidak profesional dan melanggar asas keadilan.
Haikal mengungkap terdapat tanah milik KUD Nugraha seluas 2000 m² di Kampung Gabus RT 01/06, Desa Srijaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Tanah itu, tercatat dalam girik Nomor 615/1598/Srijaya Tahun 1980 dan PBB atas nama koperasi. Haikal menegaskan tanah tersebut secara fisik dikuasai koperasi dan digarap masyarakat untuk bercocok tanam.
Namun, pada 2014 tiba-tiba muncul akta jual beli (AJB) Nomor 760/2014 yang seolah-olah menyatakan bahwa tanah tersebut dijual oleh pengurus koperasi periode 2014–2019. Dalam AJB itu, tercantum nama Bendahara Koperasi Nemin Arsyad dan Sekretaris Zaini Susanto, yang disebut menjual tanah kepada anak Nemin, yaitu Neni Triana.
"Padahal, faktanya tidak pernah ada Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang menyetujui penjualan tanah koperasi. Ketua koperasi saat itu, H. Drahim Arisi, menyatakan tidak pernah menandatangani atau menjual tanah koperasi. Para pengurus membantah keras telah menjual tanah dan menyebut tanda tangan mereka dipalsukan," ujar Haikal kepada redaksi elshinta.com, Sabtu (27/9).
Menurut Haikal, kasus semakin janggal ketika pada 2022 tanah tersebut telah bersertifikat SHM Nomor 02321 atas nama Neni Triana melalui program PTSL. Belakangan, Neni Triana sendiri membuat pernyataan tertulis tidak pernah membeli tanah koperasi, tidak pernah mengajukan sertifikat, tidak pernah menandatangani dokumen apapun untuk BPN. Bahkan, masih kata Haikal, KTP asli Neni digunakan tanpa sepengetahuannya dan dipalsukan oleh pihak lain untuk memenuhi syarat administrasi. Semua tanda tangan yang digunakan untuk pembuatan sertifikat juga terbukti palsu.
Haikal menuturkan, alih-alih memproses laporan pidana pemalsuan dokumen, justru pengurus koperasi yang berusaha menyelamatkan aset koperasi dengan memasang plang “Tanah Milik KUD Nugraha”, dilaporkan balik atas tuduhan memasuki pekarangan tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 167 KUHP.
Tidak hanya itu, Polres Metro Bekasi juga menerbitkan Surat Penetapan Tersangka Nomor B/6867/VII/2024/Resort Bks tertanggal 08 Juli 2024 yang justru menjerat pihak koperasi sebagai tersangka. Laporan yang dilakukan Pihak KUD Nugraha di Kabupaten Bekasi pun diduga ditangani dengan tidak serius, terkesan didiamkan tanpa penanganan. "Dalam hal ini pihak KUD Nugraha sudah dua kali melakukan laporan Namun sampai saat ini tidak ada kejelasan sama sekali dari Pihak Polres Metro Bekasi," kata Haikal.
Haikal mengaku heran dengan sikap penyidik Polres Metro Bekasi, khususnya Unit Harda Satreskrim. Dalam pemeriksaannya, Haikal sudah menjelaskan sertifikat tanah tersebut cacat hukum, karena diperoleh dengan cara pemalsuan dokumen. Namun, penyidik diduga menolak memperluas penyidikan ke arah dugaan pemalsuan, dan hanya memproses laporan Pasal 167 KUHP. Ada tiga kejanggalan yang disorot. Pertama, surat undangan klarifikasi yang seharusnya ditujukan resmi kepada Haikal, justru lebih dahulu diterima oleh pelapor dan wartawan. Kedua, pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat pemalsuan, tidak pernah dilakukan secara serius. Ketiga, penyidik disebut pernah datang ke rumah pihak terduga pemalsu bersama pelapor, yang menunjukkan indikasi keberpihakan.
"Kasus ini menjadi cerminan nyata bagaimana korban mafia tanah bisa berubah status menjadi tersangka, sementara pihak yang diduga melakukan pemalsuan dokumen justru bebas berkeliaran. Masyarakat pun bertanya, keadilan ada di mana? Apakah hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas?," demikian Haikal.