Warga Blubuk Purwahamba keluhkan pembakaran sampah di TPST

Warga Desa Blubuk Purwahamba, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal, semakin geram dengan aktivitas pembakaran sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) desa setempat.

Update: 2025-10-27 11:40 GMT

Sumber foto: Hari Nurdiansyah/elshinta.com.

Warga Desa Blubuk Purwahamba, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal, semakin geram dengan aktivitas pembakaran sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) desa setempat. Alih-alih menciptakan lingkungan bersih dan sehat, keberadaan TPST justru menjadi sumber polusi udara yang mencemari wilayah permukiman.

Ironinya, di tengah kondisi tersebut, warga justru masih diwajibkan membayar iuran kebersihan setiap bulannya. Setiap rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp20.000, sementara bagi warga yang memiliki usaha konveksi rumahan harus merogoh kocek lebih dalam, antara Rp50.000 hingga Rp60.000 per bulan. Namun, meski sudah dipungut biaya, pengelolaan sampah di TPST dinilai jauh dari kata layak.

“Setiap bulan kami bayar iuran kebersihan, tapi yang kami dapat malah asap dan bau menyengat. Kalau pengelolaannya seperti ini, uang itu sebenarnya buat apa?” keluh salah satu warga RT 03 RW 02, Sabtu (25/10/2025).

Asap tebal dari pembakaran terbuka di area TPST Purwahamba hampir setiap hari mengganggu aktivitas masyarakat. Saat angin berhembus ke arah permukiman, udara menjadi pengap dan berbau, bahkan beberapa warga mengaku sering mengalami batuk dan sesak napas.

“Kalau pagi dan sore, asapnya sampai masuk rumah. Anak-anak sering batuk. Kami sudah lapor ke pihak desa, tapi hanya dijawab ‘sedang diupayakan’. Nyatanya tetap saja dibakar,” ungkap warga lainnya dengan nada kesal seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Hari Nurdiansyah, Senin (27/10). 

Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar di kalangan warga: untuk apa iuran kebersihan dipungut setiap bulan, jika pengelolaan sampah justru dilakukan dengan cara paling sederhana—dibakar begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan kesehatan.

Padahal, keberadaan TPST seharusnya menjadi solusi ramah lingkungan dalam mengelola sampah rumah tangga. Namun di Purwahamba, TPST justru menjadi simbol lemahnya tata kelola desa dan minimnya transparansi pengelolaan dana kebersihan.

Sementara itu, Kepala Desa Purwahamba, Nizar Hasim, saat dimintai tanggapan, membenarkan bahwa pengelolaan TPST masih jauh dari optimal. Ia mengakui bahwa pembakaran dilakukan karena keterbatasan fasilitas dan lahan. “Kami berencana memindahkan TPST ke lokasi yang lebih jauh dari pemukiman warga. Rencana ini sedang kami kaji,” ujarnya singkat.

Namun, bagi warga, jawaban tersebut dinilai terlalu klise. Mereka menilai pemerintah desa seolah menutup mata terhadap dampak lingkungan dan tidak serius mencari solusi konkret. Beberapa warga bahkan menyebut, pungutan biaya kebersihan seolah hanya menjadi formalitas tanpa hasil nyata di lapangan.

“Kalau bayar, kita disuruh patuh. Tapi kalau minta lingkungan bersih, malah dibilang sabar. Ini bukan soal sabar, tapi soal tanggung jawab. Jangan jadikan uang iuran hanya alasan,” sindir warga lainnya.

Fenomena di TPST Purwahamba mencerminkan lemahnya sistem pengelolaan lingkungan di tingkat desa. Di satu sisi, masyarakat diminta berkontribusi lewat iuran kebersihan. Namun di sisi lain, mereka justru menanggung dampak buruk dari pengelolaan sampah yang tidak profesional.

Kini, warga hanya berharap pemerintah desa dan instansi terkait benar-benar turun tangan, bukan sekadar janji di atas kertas. Karena bagi mereka, lingkungan bersih bukan hasil dari pungutan, tapi dari pengelolaan yang jujur, transparan, dan berorientasi pada kesehatan masyarakat.

Similar News