Gaungkan filsafat praktis, STAI Sadra gelar seminar internasional
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta menggelar Seminar Internasional secara hybrid bertajuk “Pengembangan Filsafat Praktis (Hikmah Amaliyah) dalam Masyarakat Islam Modern”, pada Jumat (31/10), di Auditorium Al Mustafa, Kampus STAI Sadra, Jakarta.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta menggelar Seminar Internasional secara hybrid bertajuk “Pengembangan Filsafat Praktis (Hikmah Amaliyah) dalam Masyarakat Islam Modern”, pada Jumat (31/10), di Auditorium Al Mustafa, Kampus STAI Sadra, Jakarta.
Kegiatan yang dimulai pukul 09.00 WIB ini dihadiri oleh mahasiswa, dosen, staf, serta tamu undangan. Duta Besar Republik Islam Iran dan pimpinan organisasi kemasyarakatan turut hadir dalam acara tersebut. Seminar ini bertujuan memperdalam pemahaman mengenai nilai-nilai hikmah amaliyah atau filsafat praktis Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Islam modern yang tengah menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial yang kian dinamis.
Seminar ini menghadirkan sejumlah tokoh akademisi dan pakar filsafat, di antaranya Ayatullah Prof. Dr. Ali Abbasi (Rektor Universitas Internasional Al Mustafa) selaku keynote speaker, Prof. Dr. Sahiron (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI), Prof. Dr. Mulyadi Kertanegara (Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), serta Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Ph.D (Rektor Universitas Paramadina). Acara ini dimoderatori oleh Ammar Fauzi, Ph.D, Wakil Ketua I Bidang Akademik STAI Sadra.
Dalam sambutannya, Direktur Yayasan Hikmat Al Mustafa, Prof. Dr. Hossein Mottaghi menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat tepat untuk menjadi pusat kajian dan pengembangan hikmah amaliyah dalam masyarakat Islam modern.
Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan sosial yang unik—kerukunan antar pemeluk mazhab yang beragam dengan mayoritas Sunni Syafi‘i serta tradisi tasawuf Al-Ghazali yang kuat. “Masyarakat dan kalangan intelektual Indonesia memiliki kesiapan untuk berdialog mengenai ‘urf (pemahaman sosial) yang hidup dan berkembang dalam organisasi kemasyarakatan besar seperti Nahdlatul Ulama. Menurutnya, potensi sumber daya manusia dari Iran dan Indonesia dapat saling melengkapi dalam upaya mengembangkan filsafat praktis Islam,” ujarnya.
Sebagai keynote speaker, Ayatullah Prof. Abbasi menegaskan bahwa hikmah amaliyah merupakan cabang filsafat yang berlandaskan teori, namun menekankan dimensi tindakan nyata manusia.
“Hikmah amaliyah membahas apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Nilai-nilai ini dapat tumbuh dari kearifan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi dasar tindakan etis,” jelasnya.
Ia menambahkan, hikmah amaliyah yang sejati bersumber dari kesadaran keimanan dan keyakinan kepada Tuhan, yang mendorong munculnya perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. “Dalam tradisi filsafat klasik, hikmah terbagi menjadi tiga ranah: akhlak, manajemen keluarga, dan politik. Semua itu menunjukkan keterkaitan erat antara ilmu teoritis dan praktik kehidupan,” ujarnya.
Prof. Abbasi juga menyoroti persoalan masyarakat modern yang kerap kehilangan arah dalam mendefinisikan kebahagiaan. “Hikmah amaliyah hadir untuk mengembalikan orientasi manusia terhadap makna kebahagiaan yang sejati,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Sahiron menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan berbasis cinta memiliki hubungan erat dengan pengembangan hikmah amaliyah.
“Kurikulum berbasis cinta didasarkan pada kecintaan kepada Tuhan yang melahirkan cinta kepada sesama manusia dan alam semesta. Ini adalah bentuk nyata dari penerapan hikmah amaliyah,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa kekuatan akal spiritual perlu ditanamkan agar manusia dapat mengembangkan kehidupan yang seimbang antara rasionalitas dan spiritualitas.
Prof. Dr. Didik J. Rachbini menyoroti relevansi gagasan hikmah amaliyah dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Menurutnya, universitas yang ia pimpin, Paramadina, merupakan “eksperimen intelektual” dalam menerapkan hikmah amaliyah di ranah pendidikan dan sosial. “Ilmu akal dan hati harus berjalan seimbang; kitab dan hikmah menjadi satu kesatuan panduan,” ujarnya.
Sedangkan Prof. Dr. Mulyadi Kertanegara mengulas dimensi filsafat hikmah amaliyah dari sisi etika dan kesehatan mental. “Banyak orang modern mengalami gangguan jiwa karena kehilangan panduan moral. Etika dalam hikmah amaliyah dapat berfungsi sebagai kedokteran ruhani, sebagaimana dokter menyembuhkan penyakit fisik,” paparnya.
Seminar internasional ini menjadi wadah penting untuk mempertemukan para cendekiawan Muslim dari dalam dan luar negeri guna merumuskan kembali makna filsafat praktis dalam konteks kekinian.
Dengan semangat kolaborasi intelektual, STAI Sadra Jakarta berkomitmen menjadikan hikmah amaliyah sebagai pondasi etika, spiritualitas, dan rasionalitas masyarakat Islam modern.