Membesarkan pemikir digital: literasi AI menjadi kebutuhan dasar pendidikan anak masa kini

Redea Institute mengajak orang tua memahami peluang dan risiko AI, di tengah percepatan perkembangan teknologi, kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari

By :  Widodo
Update: 2025-11-20 07:26 GMT

Research & Development for Advancement (Redea) Institute menyelenggarakan Parent Workshop bertajuk “Membesarkan Pemikir Digital: Membantu Anak Berkembang di Era AI” pada Selasa, 18 November 2025. (foto: ist)

Jakarta - Redea Institute mengajak orang tua memahami peluang dan risiko AI. Di tengah percepatan perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mulai dari navigasi di ponsel hingga sistem rekomendasi di media sosial.

Namun sebagaimana setiap inovasi besar dalam sejarah, AI membawa potensi luar biasa sekaligus tantangan serius, mulai dari kemalasan berpikir hingga bias algoritmik, dari kemudahan belajar hingga disinformasi.

Di sinilah pendidikan memegang peran krusial: bukan untuk melarang teknologi, tetapi membekali anak-anak dengan kemampuan untuk menguasai keterampilan hidup esensial termasuk berpikir kritis, bertanggung jawab, dan tetap berpusat pada nilai kemanusiaan.

Research & Development for Advancement (Redea) Institute yang menaungi HighScope Indonesia Institute, menyelenggarakan Parent Workshop bertajuk “Membesarkan Pemikir Digital: Membantu Anak Berkembang di Era AI” pada Selasa, 18 November 2025, menghadirkan Ken Shelton, seorang ahli teknologi pendidikan dari Amerika Serikat dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, penulis buku The Promises and Perils of AI in Education, dan penerima Digital Equity Professional Learning Network Excellence Award serta CUE Platinum Disc Award.

Dalam sesi ini, Shelton menegaskan bahwa anak-anak kita sedang tumbuh di masa ketika AI sudah menjadi hal biasa mulai dari chatbot hingga sistem personalisasi digital - dan generasi mereka akan hidup berdampingan dengan teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan yang kita lihat hari ini.

“Versi AI saat ini adalah versi terburuk yang akan pernah ada,” ujarnya, mengajak orang tua dan pendidik untuk melihat pendidikan AI bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai literasi baru yang sama pentingnya dengan baca-tulis-hitung.

“AI tidak seharusnya menjadi penghalang belajar, justru hadir sebagai sarana yang menuntun siswa merumuskan pertanyaan yang tepat dan menggali pengetahuan lebih dalam.”

Seiring dunia bergerak menuju masa depan yang tak terpisahkan dari AI, sekolah dan keluarga perlu membangun kerja sama yang kuat. Pembekalan literasi AI sejak dini bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan untuk memastikan bahwa anak-anak kita bukan hanya pengguna teknologi - melainkan pemikir digital yang mampu menilai, mencipta, dan menavigasi dunia dengan kebijaksanaan.

Dalam pembukaan workshop, tim Redea Institute menekankan bahwa literasi AI merupakan bagian penting dari tujuan utama pembelajaran, yakni membentuk generasi pemimpin yang memiliki regulasi diri kuat dan pandangan ke depan bagi masyarakat.

Selain itu, tim Redea juga menjelaskan kerangka literasi AI yang telah dikembangkan dan diintegrasikan dengan learner outcomes jangka panjang, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga SMA. Kerangka ini tidak hanya mengajarkan pola berpikir untuk menggunakan AI, tetapi juga cara memahami, mengevaluasi, dan mempertanggungjawabkan penggunaan teknologi tersebut.

Literasi AI didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan AI secara bertanggung jawab agar alat seperti ChatGPT dan Gemini digunakan untuk kebaikan pembelajaran.

Pendekatan di sekolah dilakukan secara bertahap. Dimulai dari konsumsi (misalnya menggunakan Siri atau Bee-Bots), naik ke kreasi (coding, problem solving), hingga invensi—mendorong siswa mengembangkan solusi teknologi baru.

Pendekatan serupa juga diberikan kepada orang tua melalui sesi literasi digital, termasuk pelatihan bersama psikolog mengenai kesehatan emosional saat menggunakan teknologi Shelton juga mengajak para orang tua untuk eksperimen langsung tentang bias algoritmik, ketika Redea Institute menunjukkan bagaimana model bahasa besar (Large Language.

Models/LLM) dapat menghasilkan jawaban yang bias baik secara geopolitik maupun sosial. “AI bukan otoritas kebenaran. Kitalah yang memegang otoritas itu. Tugas kita adalah bertanya, memverifikasi, dan mengajarkan anak melakukan hal yang sama,” tegas Shelton dalam diskusi. “Generasi pelajar hari ini tidak akan pernah hidup di dunia tanpa kehadiran AI.”

Para orang tua yang hadir, baik secara luring maupun daring, menyampaikan beragam harapan dan kekhawatiran terkait penggunaan AI dalam kehidupan anak-anak. Banyak yang berharap teknologi ini dapat memperkuat proses berpikir, meningkatkan produktivitas, serta membantu siswa belajar lebih efisien—tanpa menggantikan peran pemikiran manusia.

Di sisi lain, muncul pula sejumlah kekhawatiran, mulai dari risiko ketergantungan, potensi penyalahgunaan untuk menyontek, hingga ancaman disinformasi. Salah satu tugas institusi pendidikan adalah membentuk pola pikir yang membantu siswa mampu mengajukan pertanyaan yang tepat dan memverifikasi informasi, sehingga mereka dapat membedakan fakta dari hoaks di tengah arus informasi digital yang masif.

Redea Institute menanggapi aspirasi dan kegelisahan ini dengan pendekatan yang menempatkan keterampilan berpikir, etika, dan karakter sebagai fondasi utama sebelum teknologi itu sendiri. Literasi AI, dalam pandangan Redea Institute, bukan hanya persoalan kemampuan teknis, tetapi juga pembangunan empati, tanggung jawab, dan kesadaran atas konsekuensi penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesempatan yang sama, Ken Shelton turut berdiskusi dengan para siswa SMP dan SMA, menggali pandangan mereka tentang kekhawatiran masa kini serta tantangan yang akan mereka hadapi di dunia yang kian dipengaruhi kecerdasan buatan.

Pertemuan ini memperlihatkan betapa pentingnya ruang dialog antar generasi untuk membentuk kesiapan mental dan kompetensi digital para siswa. Selain berbicara dalam sesi untuk orang tua, Ken Shelton juga memimpin rangkaian pelatihan bagi guru PAUD hingga SMA di Sekolah HighScope Indonesia TB. Simatupang, serta bagi pendidik dari sekolah-sekolah binaan di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK.

Ini bukan kali pertama Shelton bekerja sama dengan Redea Institute. Ia sebelumnya hadir sebagai pembicara pada Redea International Conference 2024 dan kembali menjadi narasumber pada awal tahun ini - menandai kemitraannya yang berkelanjutan dalam penguatan kapasitas guru dan literasi AI di lingkungan sekolah.

Keterlibatan aktif para pendidik menjadi bagian penting dalam memastikan bahwa pendekatan literasi AI diterapkan secara konsisten di ruang kelas. Antarina S.F. Amir, Pendiri dan CEO Redea Institute, menyampaikan apresiasi kepada seluruh orang tua dan guru yang telah berpartisipasi dalam lokakarya ini. “Kini saatnya kita memikirkan kembali peran kecerdasan buatan dalam pendidikan—dan bagaimana kita dapat mempersiapkan anak-anak sebagai pemikir digital yang siap menghadapi tantangan masa depan.” (Dd)

Similar News