P2G: Anggaran pendidikan 2026 turun, guru masih terabaikan
P2G kritik anggaran pendidikan Rp769,1 T di APBN 2026 karena terserap MBG Rp225 T. Kesejahteraan guru stagnan, sekolah rusak masih 60 persen.
Kepala Bidang Advokasi Guru di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menyoroti alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2026 yang ditetapkan Rp769,1 triliun. Menurutnya, angka tersebut terlihat besar tetapi tidak sepenuhnya riil karena sebagian besar terserap untuk program Makan Bergizi (MBG) sebesar Rp225 triliun.
“Kalau dikurangi MBG, anggaran pendidikan murni hanya Rp544 triliun. Itu justru lebih rendah dibanding 2024 yang sebesar Rp665 triliun, dan 2025 yang mencapai Rp724 triliun, meskipun kemudian berkurang Rp65 triliun untuk program Bantuan Gizi Nasional (BGN). Artinya, ada penurunan signifikan yang tidak dijelaskan secara rinci,” kata Iman.
Ia menilai kesejahteraan guru tidak banyak berubah meskipun alokasi anggaran pendidikan terus disebut sebagai yang terbesar. “Kalau dilihat dari porsi untuk guru, kesejahteraannya tidak naik, tetap sekitar Rp300 ribu per bulan. Jadi harapan untuk peningkatan nasib guru masih jauh dari yang diharapkan,” ujarnya.
Iman juga mengkritik keberadaan program MBG yang menurutnya tidak berdampak langsung terhadap peningkatan mutu pendidikan. Ia menyebut justru banyak laporan masalah di lapangan, mulai dari kerepotan administrasi sekolah hingga munculnya edaran soal kewajiban menghabiskan makanan. “Bahkan beredar informasi anak-anak dan guru tidak boleh memposting soal MBG. Ini ironis, karena sekolah jadi terbebani oleh hal-hal non-pendidikan,” tambahnya.
Ia menegaskan, seharusnya dana sebesar Rp225 triliun bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti perbaikan sekolah reguler yang kondisinya 60 persen masih rusak, pemberian beasiswa, atau menggratiskan biaya sekolah negeri dan swasta. “Dengan anggaran MBG saja, sekolah di Indonesia bisa gratis sekaligus meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi yang dipilih justru program yang menimbulkan banyak persoalan,” ujarnya.
Menurut Iman, kondisi ini menjadi ironi besar dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya juga menyinggung soal tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan gratis. “Seharusnya ini jadi momentum untuk benar-benar memprioritaskan kualitas pendidikan, bukan sekadar menjalankan program populis,” pungkasnya. (Nesya)