Keraton Yogyakarta gelar seminar Jejak Peradaban, angkat kepemimpinan Sri Sultan HB VIII
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Sujadi adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memimpin pada tahun 1921-1939. Peninggalan dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ini cukup banyak mulai dari kesenian, kebudayaan, arsitektur, pendidikan dan lain-lain.
Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Sujadi adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memimpin pada tahun 1921-1939. Peninggalan dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ini cukup banyak mulai dari kesenian, kebudayaan, arsitektur, pendidikan dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, kebudayaan beradaptasi menjadi produk budaya hibriditas. Keberhasilan Sultan dalam menavigasi hubungan kompleks antara tradisi keraton dan tekanan modernisasi kolonial menjadi bentuk praktik terbaik dalam mengawinkan produk-produk budaya dalam payung akulturasi.
Pada periode Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, terlihat upaya merancang ulang penyajian budaya sehingga dapat berkomunikasi dengan berubah. Dari sini kita belajar bahwa strategi komunikasi, kuratorial, dan audiens baru, termasuk birokrasi kolonial dan masyarakat urban yang tata ruang menjadi instrumen pelestarian.
Masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ini diangkat Keraton Yogyakarta melalui seminar Jejak Peradaban, yang mengangkat topik Resiliensi Budaya Pada Era Disrupsi. Seminar ini mengangkat tema spesifik budaya material semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang selaras dengan pameran akhir tahun Keraton Yogyakarta.
"Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pengemasan budaya pada masa itu menjadi sangat relevan dengan masyarakat di zaman itu. Saya rasa tema ini penting karena kita di kraton itu juga butuh relevan dengan generasi sekarang. Sehingga seminar ini kami hadirkan untuk mempertunjukkan bahwa salah satu pengemasan budaya menjadi salah satu cara untuk melestarikan budaya," ujar GKR Bendara pada seminar "Jejak Peradaban, Resiliensi Budaya Pada Era Disrupsi," di Hotel Morazen, di Kulonprogo, DIY, Sabtu, (6/12/2025).
Gusti Kanjeng Ratu Bendara, selaku Penghageng dari Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya, mengatakan bahwa seminar ini menghadirkan bagaimana produk-produk yang tadinya hanya ada didalam tembok Keraton lebih terbuka di masa Sri Sultan HB VIII menjadi produk kreatif yang sering dijumpai. Dan ini merupakan sekian dari banyak hal yang sebenarnya merupakan pengembangan dari kraton untuk masyarakat. Masa kepemimpinan Sri Sultan HB VIII merupakan masa dimana terbukanya budaya dengan pengembangan produk yang kini banyak dijumpai. Pada periode Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, terlihat upaya merancang ulang penyajian budaya sehingga dapat berkomunikasi dengan berubah. Dari sini terlihat bagaimana strategi komunikasi, kuratorial, dan audiens baru, termasuk birokrasi kolonial dan masyarakat urban yang tata ruang menjadi instrumen pelestarian.
"Pada masa Sri Sultan HB VIII, perubahan ini dimulai tidak hanya dari budayanya saja. Tapi bahkan beliau merubah simbol Kraton lebih dari 5 kali. Yang dulu menggunakan mahkota ala Belanda hingga menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai Projo Chino. Hingga membuka dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan banyak hal yang bersumber atau dulu banyak sekali hal yang sangat eklusif hanya di dalam tembok Keraton. Sekarang banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari,"imbuh Putri Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut.
Keraton Yogyakarta sebagai institusi penyangga budava berkewajiban untuk terus mendorong upaya pelestarian dan pengembangan budaya di tengah hiruk-pikuk pertumbuhan zaman. Pelestarian dalam hal ini menjaga marwah budaya dan menjamin kebermanfaatannya secara bijak dan berkesinambungan. Sementara pengembangan merupakan cara berinovasi di tengah pelestarian budaya.
Akan tetapi, fenomena pada era keterbukaan informasi, proses pelestarian dan pengembangan kerap tidak berjalan beriringan. Tidak jarang pengembangan budaya dilakukan tanpa menjaga substansi konkrit yang justru mengikis nilai di dalamnya. Maka dari itu, perlu kesadaran bersama dalam merespons kondisi prihatin hari ini. Perlu disadari pula bahwa tanggung jawab untuk menjaga identitas budaya bukan hanya menjadi milik keraton, namun menjadi tanggung jawab masyarakat secara luas.
Menilik situasi tersebut, Keraton Yogyakarta tahun ini menggelar kembali Seminar Jejak Peradaban dengan tajuk Resiliensi Budaya Pada Era Disrupsi. Tajuk ini dipilih sebagai upaya dalam membaca praktik terbaik dari proses pelestarian budaya pada era disrupsi. Praktik terbaik atau kerap disebut sebagai best-practice melakukan transformasi fungsi yang cermat, membentuk narasi publik yang relevan, dan memastikan keberlanjutan budaya dan ekonomi dengan tetap menjaga esensi nilai-nilai tradisi. Pada seminar kali ini, empat topik warisan budaya dari periode kekuasaan abad ke-20 didiskusikan dalam ruang praktis.
Topik: Jamu dan Jampi, Budaya Visual, Perak dan Perhiasan, hingga jamuan ala riisttafel dihadirkan ulang untuk dipertemukan dengan praktik terbaiknya dalam proses resiliensi. Dengan pendekatan yang dinamis-kontemporer, warisan budaya di Yogyakarta didorong untuk bertumbuh dalam gagasan strategis sebagai upaya adaptasi dengan selera populis
Salah satu narasumber seminar, Priya Salim sebagai pengusaha perak Kotagede Yogyakarta, mengungkapkan bahwa perjalanan kerajinan perak Kotagede mengalami masa keemasan pada zaman Sri Sultan HB VIII. Pada masa itu, pekerja perak hidup sejahtera dengan mendapat gaji Rp2,5. Apabila dinilaikan dengan jumlah sekarang maka gaji per harinya mencapai Rp500.000.
"Saya sebagai pengusaha perak sejak tahun 87 saya merasa belum bisa menggaji seorang karyawan dengan gaji Rp500 ribu seharinya. Saya harus mengakui bahwa masa keemasan perak Kotagede itu pada masa Sri Sultan HB VIII,"ujarnya.
Koordinator Kegiatan Seminar Jejak Peradaban, Fajar Wijanako mengatakan, seminar ini merupakan gelaran kedua Keraton, dengan fokus yang diperluas. Seminar ini bukan lagi berfokus pada bentuk academic-based semata, tetapi pada best practice dari setiap pengelolaan warisan budaya.
Topik-topik yang didiskusikan dalam seminar berelasi dengan segala inisiasi pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII di Keraton Yogyakarta. Di antaranya seperti wellness yang diwujudkan dalam bentuk jamu dan jampi. Selain itu, ada perhiasan dan produk kerajinan perak. Budaya visual, yang pada masa itu banyak muncul dalam bentuk arsitektur pada.
"Salah satu program yang menjadi bundling dengan seminar adalah dining experience dalam bentuk jamuan Rijsttafel. Yaitu mengajak peserta untuk santap malam ala bangsawan yang akrab diistilahkan dengan fine dining. Sekaligus mengeksplorasi kawasan pariwisata berbasis budaya di sekitaran Kabupaten Kulonprogo," pungkasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Senin (8/12).