`Aura farming`, dari Sungai Kuantan ke Danau Xinglong
Suasana di Tepian Narosa, Sungai Batang Kuantan, Riau, pada medio Agustus terasa berbeda. Ribuan pasang mata menyaksikan Festival Pacu Jalur 2025, sebuah tradisi dayung yang telah ratusan tahun menjadi denyut budaya masyarakat Kuantan Singingi.
Namun, sorotan tahun ini berbeda karena ada sosok bocah yang mendunia, Rayyan Arkan Dikha, dengan gerakan khasnya di ujung perahu menari penuh percaya diri. Yang dikenal dunia dengan istilah aura farming.
Fenomena ini menjalar begitu cepat, ditiru selebritas hingga pemain klub sepak bola Eropa. Namun, di balik viralitas itu, ada makna yang lebih dalam jika ditelisik hanya pada sisi olahraga. Yaitu, pacu jalur bukan sekadar pesta rakyat tetapi ladang subur lahirnya talenta dayung nasional.
Pada Festival Pacu Jalur 2025 yang digelar 20-24 Agustus, Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo yang menghadiri agenda itu mengatakan bahwa festival ini dapat menjadi wadah pencarian bakat untuk cabang olahraga perahu naga atau dragon boat, sebuah olahraga yang baru saja menorehkan tinta emas Indonesia di panggung internasional.
Bila di Kuantan Singingi ribuan orang bersorak riang, di Chengdu, China, suasana tak kalah bergemuruh. Perahu naga untuk pertama kalinya menjadi cabang resmi di World Games 2025, dan Indonesia tampil mengejutkan dunia. Dalam dua hari perlombaan di Danau Xinglong, Merah Putih meraup tiga medali emas dan dua perak. Bahkan empat medali, dua emas dan dua perak, diraih Indonesia hanya dalam kurun dua jam saja.
Emas diraih di nomor Open 8-seater 2000 meter, Open 8-seater 200 meter, dan Mixed 10-seater 500 meter. Sementara perak datang dari nomor Open 8-seater 500 meter dan Mixed 10-seater 2000 meter.
International Canoe Federation (ICF) bahkan menyebut Indonesia telah mencetak sejarah, lantaran sukses meraih emas perdana Dragon Boat di World Games. Torehan itu meneguhkan reputasi Indonesia sebagai salah satu kekuatan dayung dunia, bersanding dengan negara-negara Asia Timur yang sebelumnya mendominasi.
Jejak tradisi dalam prestasi
Keterkaitan antara pacu jalur dengan dragon boat pada dasarnya sangat erat. Meski berbeda dalam format lomba, keduanya berakar pada budaya kolektif masyarakat sungai.
Pacu jalur dengan perahu kayu panjangnya dan seorang bocah penari di haluan adalah cermin kedekatan warga Riau dengan air dan ritme kebersamaan. Sedangkan perahu naga dalam format modern menjadi wajah internasional dari tradisi serupa.
Menpora Dito tidak berlebihan ketika menyebut pacu jalur sebagai wadah pencarian bakat. Atlet-atlet yang lahir dari tradisi inilah yang kerap mengisi skuad nasional di berbagai ajang. Bukan kebetulan bila Riau selalu mendominasi cabang dayung di PON. Regenerasi berjalan alami, karena dari kecil anak-anak Kuansing sudah akrab dengan sungai, irama dayung, dan semangat kolektif.
Rayyan Arkan Dikha, bocah 11 tahun yang viral dengan julukan aura farmer di jagat maya menghadirkan dimensi baru. Gerakannya yang sederhana nan penuh percaya diri lebih dari sebatas hiburan. Ia menjelma menjadi simbol daya tarik budaya. Ketika gaya itu ditiru selebritas dan musisi global seperti BTS, Travis Kelce, hingga pebalap MotoGP Marc Marquez dalam perayaan juaranya di MotoGP Jerman, dunia sesungguhnya sedang menengok pada akar budaya Indonesia.
Fenomena ini memberi eksposur yang tak ternilai. Pariwisata Riau, dan lebih luas lagi Indonesia, mendapat sorotan global. Namun dampak lain yang tak kalah penting adalah legitimasi tradisi sebagai pintu masuk ke olahraga modern. Jika pacu jalur bisa viral karena satu bocah, maka prestasi dragon boat di World Games 2025 dapat menjadi titik balik serius bagi pengembangan olahraga air.
Momentum pembinaan
Prestasi di Chengdu harus dibaca lebih jauh daripada sekadar angka medali. Tiga emas dan dua perak adalah bukti kapasitas, tetapi pertanyaan besarnya: bagaimana mempertahankan dan mengembangkannya? Di sinilah pacu jalur dan festival serupa memainkan peran penting. Ini bukan lagi perayaan budaya, tapi ekosistem pembinaan.
Bayangkan jika setiap festival dayung tradisional, seperti pacu jalur di Riau, lomba perahu naga di Kalimantan, hingga tradisi serupa di Sulawesi, diberi wadah pembinaan yang terstruktur. Dengan dukungan teknologi latihan modern, pemanduan bakat, serta jalur menuju tim nasional, Indonesia berpeluang melahirkan generasi atlet dayung yang tangguh dan konsisten bersaing di level dunia.
Pencapaian dragon boat di World Games 2025 mengingatkan pada pola yang sama di cabang lain. Silat, misalnya, yang berakar dari budaya Nusantara lalu dipoles menjadi cabang olahraga internasional, dan bahkan sedang diupayakan untuk bisa dipertandingkan di Olimpiade Los Angeles 2028.
Hal yang sama kini terjadi dengan dayung. Bedanya, perahu naga sudah mapan sebagai cabang global, tinggal bagaimana Indonesia memastikan tradisi pacu jalur tetap menjadi fondasi identitas.
Bukan semata soal teknik, melainkan soal narasi. Dunia kini mengenal istilah aura farming sebagai bagian dari pacu jalur. Bila narasi ini dikaitkan secara konsisten dengan prestasi perahu naga, maka Indonesia akan memiliki keunggulan ganda dari prestasi olahraga sekaligus nilai budaya.
Seperti halnya gerakan Rayyan yang penuh aura, keberhasilan perahu naga Indonesia di World Games 2025 adalah sinyal optimisme. Namun, aura itu harus dirawat. Pemerintah, federasi, hingga masyarakat lokal perlu memastikan kesinambungan pembinaan. Tidak cukup berhenti pada euforia viral atau pesta penyambutan juara, perlu desain kebijakan jangka panjang.
Langkah konkret bisa berupa integrasi festival tradisional ke dalam kalender pencarian bakat resmi, pemberian beasiswa olahraga bagi atlet muda daerah, serta peningkatan fasilitas latihan. Selain itu, eksposur media dan budaya pop seperti fenomena aura farming perlu terus diarahkan untuk memperkuat citra dayung Indonesia di mata dunia.
Jika di tepian Sungai Batang Kuantan seorang bocah menari di ujung perahu, di Danau Xinglong sekelompok atlet Indonesia mendayung hingga mengibarkan Merah Putih. Dua peristiwa berbeda, saling bertalian.
Jika pacu jalur adalah akar, maka perahu naga di World Games adalah ranting yang menjalar ke dunia internasional. Dan kini, tanggung jawab bersama adalah memastikan pohon besar itu terus tumbuh berakar di tradisi dan berbuah di prestasi.