Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025: Bahagia itu perlu diperjuangkan
Hari Mental Sedunia 2025
Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. Tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema Mental Health in Humanitarian Emergencies atau Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan, yang menyoroti pentingnya menjaga kesehatan psikologis di tengah konflik, bencana, dan krisis kemanusiaan.
Tema tersebut menjadi pengingat bahwa kesehatan mental bukanlah isu pinggiran, melainkan bagian penting dari ketahanan manusia — baik bagi masyarakat terdampak maupun para pekerja kemanusiaan di garis depan.
Dalam wawancara bersama Radio Elshinta, Psikolog dan CEO Rumah Konseling Muhammad Iqbal, PhD, menekankan bahwa kesehatan mental memiliki dampak langsung terhadap kesehatan fisik seseorang.
“Hari Kesehatan Mental Sedunia ini untuk memperingati betapa pentingnya terhadap kita, yaitu masyarakat individu tentang kesehatan mental. Karena kesehatan mental ini bila bermasalah, akan berdampak kepada kesehatan fisik, begitupun sebaliknya. Jadi kesan mental ini penting untuk bisa kita peringati supaya kita mengerti betapa pentingnya sebuah mental yang sehat, pikiran yang sehat, tubuh yang kuat.,” ujarnya kepada Anchor Suwiryo, Jumat (10/10/2025).
Iqbal menyoroti bahwa di Indonesia, perhatian terhadap kesehatan mental masih tertinggal dibanding kesehatan fisik. Akses layanan psikologis masih terbatas dan cenderung mahal, sementara stigma di masyarakat masih kuat.
“Hari ini layanan-layanan itu (layanan psikologis-red) masih eksklusif, mahal, ditambah lagi juga masalah stigma masyarakat kita. Ketika orang pergi datang ke psikolog, atau psikiater atau konselor, dia memiliki masalah kesehatan jiwa. Sehingga mereka enggan karena malu, tabu, ya,” jelasnya.
Ia menambahkan, Pemerintah perlu lebih serius mengintegrasikan layanan konseling ke dalam sistem BPJS Kesehatan, agar masyarakat bisa mendapatkan pendampingan mental tanpa hambatan biaya.
Dalam wawancara tersebut, sejumlah pendengar Elshinta juga menyoroti peningkatan kasus depresi dan gangguan mental pascapandemi COVID-19, terutama di perkotaan. Menanggapi hal ini, Iqbal menjelaskan bahwa isolasi sosial, tekanan ekonomi, serta gaya hidup materialistik menjadi pemicu utama meningkatnya stres dan depresi.
“Orang-orang kota hidup dalam tekanan ekspektasi dan budaya flexing di media sosial. Mereka mengejar kebahagiaan dari materi, bukan dari makna hidup,” ujarnya.
Menurutnya, banyak masyarakat modern yang merasa hampa karena kehilangan keseimbangan antara dunia nyata dan ruang digital. Iqbal menekankan pentingnya peran keluarga dalam membangun daya tahan mental generasi muda.
“Kesehatan mental itu dari bagaimana kita memandang, bagaimana pengasuhan, termasuk juga lingkungan sosial yang mendukung. Hari ini kita melihat banyak sekali masalah kecemasan, ada bipolar, depresi, ada masalah dengan situasi yang tidak bisa diatasi dengan baik. Sebenarnya memang kemampuan soft skill adalah salah satu solusi bagi anak-anak kita,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya soft skill, empati sosial, dan olahraga sebagai bagian dari terapi alami untuk menjaga keseimbangan hormon dan mengurangi risiko stres kronis.
"Banyak orang tua menganggap bahwa akademik nomor satu, oke, tapi juga harus diimbangi dengan kemampuan untuk hidup di masyarakat, bersosialisasi, mengelola konflik, problem solving, inovasi, sehingga tidak terjadi anak-anak yang fixed mindset, yang ini akhirnya membentuk perilaku yang mudah stres," jelasnya.
Olahraga teratur, katanya, bisa memicu pelepasan hormon kebahagiaan yang membuat seseorang lebih optimis dan tahan terhadap tekanan hidup. Untuk menembus hambatan stigma, Iqbal mendorong agar pemerintah membuka lebih banyak layanan konsultasi daring yang mudah diakses masyarakat dari berbagai daerah.
“Tak semua orang bisa datang langsung ke psikolog. Layanan daring akan membantu mereka yang ingin sekadar bercerita atau curhat tanpa takut dihakimi,” ujarnya.
Ia menambahkan, edukasi publik juga perlu menggunakan pendekatan yang lebih ramah, misalnya mengganti istilah yang menakutkan seperti kesehatan jiwa menjadi istilah positif seperti rumah kebahagiaan.
Menutup pembicaraan, Iqbal mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kekayaan atau status sosial, melainkan dari kesadaran diri dan rasa syukur.
"Kadang hidup itu ada di atas, ada di bawah. Tapi banyak orang yang pernah di atas nggak mau turun ke bawah. Tapi ada pula banyak pula orang yang dari bawah ketika di atas, dia pun lupa dengan kehidupan di bawah. Jadi sesungguhnya kebahagiaan bukan hanya karena harta tapi juga kebahagiaan ada dalam diri kita kalau kita mau bersyukur. kalau mau kita berbahagia. Kadang-kadang banyak yang beranggapan bahwa kita akan bahagia kalau dikasih orang. Padahal sebenarnya memberi pun membuat kita bahagia,” ungkap Iqbal.
Hari Kesehatan Mental Sedunia menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia untuk lebih terbuka terhadap isu mental health. Sebab, menjaga kewarasan di tengah dunia yang semakin kompleks bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan dasar setiap manusia.
Penulis: Sukma Salsabilla/Ter