Merawat akal sehat di tengah badai informasi

Update: 2025-09-05 07:20 GMT

Ilustrasi Badai informasi buatan AI. ANTARA/Sizuka

Badai informasi datang dari segala arah hingga bisa memporak-porandakan isi kepala kita. Produksi informasi yang telah dibumbui teknologi dan bias pribadi makin menimbulkan kebingungan massal karena terciptanya banyak kepalsuan, sehingga penting untuk tetap merawat akal sehat agar tak tergulung gelombang sampah informasi tersebut.

“Informasi yang berlimpah tanpa konteks hanya melahirkan kebingungan, bukan pengetahuan”, kata filsuf kontemporer Neil Postman – dalam Amusing Ourselves to Death (1985).

Sekarang kita sedang berada pada realita itu: berkelimpahan informasi tanpa konfirmasi dan verifikasi yang membanjiri layar gawai setiap hari. Apalagi pemanfaatan teknologi akal imitasi yang tidak dilandasi etika dan moral dengan mudah memproduksi informasi penuh kepalsuan.

Masyarakat rendah literasi menjadi kalangan rentan yang mudah mabuk oleh hiburan informasi dangkal, hasil rekayasa dan berbumbu unsur palsu yang disajikan berbagai media sosial. Tanpa kemampuan mengunyah yang baik, kabar abal-abal yang ditelan begitu saja akan sangat berbahaya bagi kesehatan pikiran.

Bila kesehatan fisik (salah satunya) tergantung dari apa yang kita makan, maka kesehatan pikiran dipengaruhi dari jenis dan kualitas informasi yang dikonsumsi. Sehingga kemudahan akses informasi mestilah disertai literasi mumpuni. Jika tidak, bahaya akan pembusukan otak (brainrot) adalah nyata adanya.

Data terbaru per awal tahun 2025 dari We Are Social --dipublikasikan lewat DataReportal-- menunjukkan sebanyak 212 juta jiwa, setara dengan 74,6 persen dari total populasi Indonesia merupakan pengguna internet. Sedangkan pengguna media sosial sejumlah 143 juta identitas pengguna atau sekitar 50,2 persen dari keseluruhan penduduk. Dan koneksi seluler aktif terdata sekira 356 juta, atau 125 persen dari populasi, yang artinya banyak orang memiliki lebih dari satu koneksi seluler.

Maka bisa dibaca bahwa 3 dari 4 orang di Indonesia berada dalam jaringan, dan setengah populasi juga aktif di media sosial yang menjadi arena pertempuran informasi harian. Dari separuh pengguna medsos, tentu tidak semuanya punya kapasitas kritis yang mampu memilih dan hanya menikmati informasi bergizi bagi asupan isi kepalanya.

Padahal, pengguna medsos tidak hanya berperan sebagai konsumen, melainkan sekaligus juga produsen yang membuat dan mengunggah serta menyebarluaskan informasi atau konten. Bayangkan, seberapa besar daya rusak terhadap otak dari jutaan konten yang dibuat asal jadi dan asal sebar!

Dalam berbagai kesempatan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menegaskan bahwa tugas dan peran media arus utama adalah sebagai penjernih informasi. Dikatakannya, pembeda media massa dan media sosial terletak pada proses verifikasi, jurnalis profesional wajib melakukannya sedangkan pembuat konten medsos, tidak.

Ketiadaan penjaga pintu gerbang (gatekeeper) pada medsos menyebabkan keacakan konten tersiar secara liar. Dengan demikian, untuk memperoleh informasi yang valid tentu perlu menelusuri melalui media resmi yang terverifikasi. Namun sayangnya, sebagian besar masyarakat enggan pergi ke sana.

Penjernih informasi

Menjadi tugas media massa arus utama untuk mengambil peran sebagai penjernih informasi karena sejak mula kehadirannya telah memiliki fitrah dalam fungsi edukasi publik.

Media massa, dari pendiri hingga jurnalis di lapangan adalah SDM profesional di bidang pemberitaan, yang bekerja berdasarkan idealisme dan berpedoman kode etik sehingga setiap berita diproduksi dan disebarluaskan secara bertanggung jawab.

Pada bagian lain, sebagian masyarakat yang merupakan konsumen media, lebih meminati sensasi ketimbang edukasi. Kecondongan yang membuat kerumunan warganet berada di media sosial, platform yang dirasa lebih menghibur.

Selera receh warganet tak urung bisa membuat para penyaji informasi berkualitas menjadi frustrasi, karena produk berita yang melewati proses sedemikian rupa untuk memenuhi standar layak siar akan kalah laku dengan konten medsos yang dibuat serampangan tapi dianggap lucu.

Mungkin telah lebih dari satu dekade terakhir media massa digital terpaksa mengikuti selera pasar hingga rela menurunkan kualitas produksi. Hal itu terlihat dari topik-topik bahasan yang diangkat mengacu pada isu populer dan pemilihan judul yang umpan klik demi menaikkan trafik dan keterikatan audiens.

Menjadi lazim konten hiburan, gosip, tutorial bahkan berbau klenik mendominasi suguhan menu berita media massa. Berita politik, ekonomi, sosial sering kalah prioritas dibanding kabar artis, skandal, atau hal viral. Seolah-olah timeline medsos berpindah ke layar media.

Ketika sensasi mengalahkan substansi, kecepatan mengalahkan akurasi, dan trending mengalahkan kepentingan publik, akhirnya redaksi tak lagi menjadi penentu arah informasi karena turut menjadi pengikut algoritma media sosial. Media bukan memberi informasi yang seharusnya diketahui melainkan menyajikan apa yang diinginkan publik.

Kalau saja media arus utama teguh pendirian tak tergiur mengikuti selera receh pasar, maka legitimasinya semakin tinggi dan membuat garis pembeda dengan media sosial tampak nyata.


Akal sehat

Mungkin bukan perkara mudah untuk tetap menjadi waras di tengah kepungan badai informasi. Makin samarnya garis pembeda antara berita nyata atau hasil rekayasa, membuat jalan lurus ke arah kebenaran terasa sunyi dan sendiri.

Mana yang lebih baik, waras kesepian atau sesat bersama keramaian orang? Kembali pada akal sehat adalah cara pulang paling aman agar tak sampai mengalami pembusukan otak. Malah sesungguhnya kita bisa kembali sehat bersama-sama dengan cara:

Pertama, media massa harus meneguhkan peran sebagai penjernih informasi dengan hanya memproduksi dan menyebarkan berita penting untuk diketahui publik. Menjaga standar kualitas berita dengan mengutamakan substansi, akurasi, serta faktor kebermanfaatan bagi audiens.

Kedya, media sosial diarahkan untuk lebih banyak memproduksi konten-konten edukatif. . Memang medsos tak melulu berisi sampah, banyak juga kreator yang membagikan konten-konten eduktif dalam berbagai bidang. Hanya saja konten bagus kerap tenggelam oleh yang receh dan tidak berfaedah untuk penambah wawasan atau pengetahuan. Kebijakan memperketat syarat monetisasi konten kiranya dapat meredam membludaknya konten sampah, begitupun peningkatan fitur deteksi spam oleh sejumlah platform media sosial.

Kemudian kesadaran manusia untuk hanya membuat dan menyebarkan konten baik yang bermanfaat, menjadi hal mendasar dalam memperbaiki perwajahan medsos agar tak menimbulkan polusi informasi.

Ketiga, warganet harus diedukasi untuk lebih memilih konten-konten yang sehat. Bila para kreator membuat konten sensasional demi berburu cuan, sebenarnya audiens punya pilihan untuk tidak menontonnya. Akal sehat menjadi filter alami supaya kita tidak gampang terbawa arus dengan melahap apapun yang dijejalkan ke beranda medsos.

Sindiran halus dari filsuf Prancis René Descartes (Discourse on Method,1637) yang menyatakan: “Common sense adalah hal yang paling merata dibagi di dunia, karena setiap orang berpikir ia memilikinya cukup”, secara lebih lugas bisa diartikan bahwa akal sehat sering dianggap ada, tapi jarang digunakan dengan kritis.

Merawat akal sehat dapat diwujudkan lewat kemampuan membedakan fakta atau opini, sumber kredibel atau abal-abal. Penting untuk bersikap kritis agar tak sekadar menerima, tetapi memeriksa dan membandingkan.

Badai informasi bukan hanya soal konten, tapi intensitas dan kecepatan yang bisa membuat otak kewalahan. Langkah lain dalam merawat akal sehat adalah dengan memilih sumber berita kredibel dan terverifikasi, mengatur waktu konsumsi media, atau sesekali mengambil jeda dan “puasa” informasi.

Perlu disadari bahwa merawat akal sehat tidak sebatas urusan logika tapi juga hati, supaya tidak gampang terbakar emosi gara-gara provokasi. Dengan memadukan nalar kritis dan empati bisa membantu kita tetap obyektif sekaligus memiliki sikap belas kasih.

Lakukan juga diskusi bersama orang-orang kompeten yang bisa dipercaya, ini menjadi cara mengecek kebenaran dan menghindari bias pribadi. Selanjutnya, memelihara ruang-ruang diskusi yang sehat turut menjadi bagian dari perawatan akal sehat bersama.

Di tengah badai informasi, akal sehat menjadi jangkar agar kita tidak hanyut.

Tags:    

Similar News