Strategi kedaulatan digital: Optimalisasi AI untuk sektor ekonomi riil

Update: 2025-12-28 07:00 GMT

Ilustrasi logo Google Gemini AI. (ANTARA/google.com)

Elshinta Peduli

Realitas di lapangan sering kali berbicara dengan suara parau yang menenggelamkan narasi-narasi futuristik nan kinclong dari ibu kota teknologi dunia. Dari sawah-sawah milik petani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, hingga perairan bergelombang di Natuna, Kepulauan Riau, kekhawatiran tenaga kerja Indonesia bersifat mendasar, bukan virtual.

Petani di sawah bergulat dengan cuaca yang tidak menentu dan distribusi pupuk yang tidak transparan, bukan dengan kegalauan eksistensial puisi akal imitasi atau AI. Nelayan mengandalkan data satelit untuk menghemat bahan bakar, sementara manajer pabrik di Jawa Tengah memprioritaskan perawatan prediktif dibandingkan dengan animasi video hiper-realistis.

Wajah asli ekonomi "Selatan Global" itu fisik, kotor, dan mendesak, jauh dari kilau digital metaverse.

Hanya saja, tajuk utama global tetap terhipnotis oleh narasi yang terputus dari kebutuhan yang riil ini. Publik disuapi dengan "mukjizat digital" Silicon Valley — AI Generatif yang mampu melukis mahakarya memukau, sementara negara berkembang masih berteriak soal ketahanan pangan dan stabilitas energi.

California tampak sibuk menyempurnakan proyek prestisius "otak dalam toples" yang tak berbadan, yang sepenuhnya terlepas dari realitas lumpur, keringat, dan oli mesin.

Saraf digital

Ketimpangan tajam ini memicu pergeseran kiblat teknologi yang menarik. Pengamat Barat sering meremehkan ini sebagai sekadar perburuan barang murah, padahal ini adalah pencarian mendalam akan relevansi. Ketika model AI baru dari China, seperti DeepSeek muncul, yang menarik minat dunia berkembang bukanlah kemampuan akademisnya, melainkan filosofi membumi yang menyertai kehadirannya.

Elshinta Peduli

Indonesia mulai beralih ke teknologi yang berfungsi sebagai "sistem saraf digital" bagi ekonomi riil, bukan sekadar alat pembuat konten. Pola ini mencerminkan kerinduan akan kesatuan antara konsep dan wadah, di mana AI dianggap berguna hanya jika ia mau "kotor-kotoran".

Ia harus tertanam di jaringan irigasi untuk mengatur aliran air, menyatu dengan jaringan listrik untuk menyeimbangkan energi terbarukan, dan menjadi otak di balik rantai pasok logistik yang rumit. Bagi bangsa ini, teknologi bukan tentang abstraksi di awan; ini tentang efisiensi di tanah pijakan (terra firma) yang berlumpur.

Pragmatisme material adalah satu-satunya jalan ke depan. Jelas bahwa AI yang hanya mahir beretorika tidak akan menyelamatkan industri nasional dari ketidakefisienan struktural. Sebaliknya, integrasi mendalam ke dalam infrastruktur fisik, seperti pelabuhan cerdas atau pabrik otomatis, adalah satu-satunya lintasan untuk naik kelas dalam rantai nilai global.

Tanpa integrasi semacam itu, pabrik domestik akan gulung tikar, tidak mampu bersaing dengan tetangga yang menggunakan presisi algoritmik. Risiko dari deindustrialisasi dini terus mengintai, jika perkawinan antara teknologi dan sektor riil gagal disatukan ke dalam pelaminan.

Di saat bersamaan, ancaman geopolitik membayangi. Amerika Serikat sedang mengejar "Misi Genesis", strategi sistematis untuk mendominasi infrastruktur digital global (cip, data, dan etika) demi mempertahankan hegemoni. Jika Indonesia secara pasif mengonsumsi produk elite Barat ini, ia berjalan masuk ke dalam perangkap "kolonialisme digital".

Dengan hanya membeli teknologi mahal yang tidak relevan, sambil menyerahkan data strategis, Selatan Global berubah menjadi "perkebunan data": Bahan mentah diekstraksi dari Selatan, lalu diproses di Utara, dan kemudian dijual kembali sebagai produk kecerdasan jadi, dengan harga yang premium.

Kedaulatan digital

Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar bagi semua produk itu. Risiko menjadi "koloni digital", kini sangat nyata. Akan menjadi ironi pahit jika generasi masa depan dididik oleh AI asing yang bias budaya, sementara insinyur terbaik negara ini beremigrasi karena kurangnya lahan inovasi lokal.

Industri domestik berisiko terdegradasi menjadi subkontraktor bermargin rendah, dengan data warga dimonetisasi untuk mengubah mereka menjadi produk. Oleh karena itu, pembuat kebijakan di Jakarta harus segera merumuskan "Misi AI Nasional" yang berlandaskan pada kedaulatan dan pragmatisme ekonomi riil.

Daripada kita hanya meniru chatbot Barat, pemerintah harus mendorong badan usaha milik negara (BUMN) strategis di sektor energi, pangan, dan transportasi untuk menjadi lokomotif adopsi AI terapan. Utilitas negara harus bertransformasi menjadi inkubator, menantang talenta lokal untuk menciptakan solusi spesifik bagi masalah yang kini dihadapi bangsa kita.

Selain itu, kedaulatan atas data pendidikan dan kesehatan adalah harga mati. Platform mandiri harus dibangun, di mana AI digunakan untuk mendidik, sesuai dengan nilai-nilai luhur nasional. Pendidikan vokasi memerlukan reformasi agar lulusan siap bekerja berdampingan dengan mesin cerdas, bukan digantikan oleh benda yang tidak memiliki jiwa itu.

Pada akhirnya, revolusi AI bukan tentang memiliki robot yang paling pandai bicara, melainkan memanfaatkan teknologi untuk secara konkret meningkatkan kesejahteraan bersama. Kini, pilihannya tegas: apakah bangsa ini akan terpesona oleh "otak dalam toples" milik orang lain, atau akan membangun "sistem saraf digital" sendiri untuk menggerakkan ekonomi?

Tindakan nyata harus diambil sekarang, menerjemahkan teknologi menjadi solusi di sawah dan pabrik, sebelum kendali atas masa depan kita hilang tak berbekas.

Tags:    
Elshinta Peduli

Similar News