Psikolog paparkan strategi keluar dari hubungan toksik jaga mental
Fransisca Debi Oktavia paparkan strategi bagi seseorang untuk menyadari tanda bahaya dan langkah keluar dari hubungan toksik demi menyelamatkan kesehatan mental
Ilustrasi- Hubungan toksik bisa berdampak pada kesehatan mental seseorang yang cenderung menarik diri dari interaksi sosial. ANTARA/Ahmad Rifandi.
Psikolog dari Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Kalimantan Timur (Kaltim) Fransisca Debi Oktavia memaparkan strategi bagi seseorang untuk menyadari tanda bahaya dan langkah keluar dari hubungan toksik demi menyelamatkan kesehatan mental.
"Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang sulit keluar dari hubungan toksik, antara lain adalah hubungan yang sudah berjalan lama, keluarga dan teman-teman sudah saling mengenal, serta adanya pola-pola yang sudah terbiasa dijalani," kata Fransisca di Samarinda, Minggu.
Ia menjelaskan banyak individu sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang terperangkap dalam sebuah siklus hubungan yang merugikan secara emosional dan psikologis.
"Individu tersebut terpaksa harus selalu menyesuaikan diri secara terus-menerus demi memenuhi keinginan pasangannya tanpa memikirkan kebutuhan batinnya sendiri," ungkap Fransisca.
Dampak destruktif selanjutnya, menurut dia, adalah hilangnya jati diri yang membuat korban melupakan siapa dirinya yang sebenarnya sebelum menjalani hubungan tersebut.
Hobi atau kegiatan positif yang dulu sering dilakukan perlahan mulai ditinggalkan karena fokus waktu dan energi yang tersita sepenuhnya hanya untuk melayani ego pasangan.
"Korban hubungan tidak sehat ini bahkan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, sehingga interaksinya dengan dunia luar atau sahabat lama menjadi sangat terbatas," papar Fransisca.
Penurunan fungsi sebagai manusia, lanjut dia, juga terlihat jelas ketika seseorang mendadak menjadi malas dan kehilangan gairah untuk menjalani kehidupan sehari-hari yang produktif.
"Penting untuk mengevaluasi secara jujur apakah diri sendiri berkembang menjadi pribadi yang lebih baik atau justru menyusut menjadi kerdil dalam hubungan itu," jelasnya.
Seseorang juga perlu bertanya pada hatinya sendiri apakah ia lebih sering merasa takut atau merasa nyaman saat berada di dekat pasangannya dalam keseharian.
Poin krusial lainnya adalah memastikan apakah pasangan benar-benar mengubah perilakunya secara nyata lewat tindakan dan bukan sekadar janji manis di bibir saja.
Psikolog Fransisca membagikan langkah pertama dan terpenting untuk melepaskan diri adalah mengakui perasaan sendiri dan berhenti menyangkal kenyataan bahwa hubungan tersebut memang sudah tidak sehat.
Lebih lanjut ia mengatakan rasa sayang yang masih tersisa seringkali menjadi penghalang utama, namun penyangkalan terhadap realitas hanya akan memperburuk kondisi mental seseorang dalam jangka panjang.
"Dukungan eksternal dari sistem pendukung yang positif seperti teman dekat atau keluarga sangat dibutuhkan untuk menguatkan mental dalam fase kritis ini," katanya.