UU Paten digugat ke MK, pasien peringatkan ancaman serius terhadap akses obat
Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) bersama individu yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Hak Pasien untuk Akses Obat resmi mengajukan uji materiil atas Undang-Undang No. 65 Tahun 2024 tentang Paten (UU Paten) ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) bersama individu yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Hak Pasien untuk Akses Obat resmi mengajukan uji materiil atas Undang-Undang No. 65 Tahun 2024 tentang Paten (UU Paten) ke Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon menilai UU terbaru ini memuat ketentuan yang mengancam akses masyarakat terhadap obat-obatan esensial, khususnya akibat penghapusan dari Pasal 4(f) yang membuka peluang praktik patent evergreening, yakni strategi perusahaan farmasi untuk memperpanjang monopoli atas paten obat.
Patent evergreening merujuk pada berbagai taktik perusahaan untuk memperpanjang perlindungan paten demi mempertahankan monopoli dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Dampaknya, obat generik tidak bisa masuk ke pasar dan harga obat tetap tinggi. Kondisi ini tidak hanya memberatkan pasien, tetapi juga menambah beban negara yang menanggung biaya pengobatan melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tony Richard Samosir, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) dan salah satu Pemohon, menegaskan bahwa Pasal 4(f) dalam UU Paten sebelumnya adalah instrumen vital bagi perlindungan kesehatan publik. “Pasal 4(f) secara tegas mencegah pemberian paten atas bentuk baru atau penggunaan kedua dari senyawa yang sudah dikenal tanpa peningkatan khasiat yang signifikan. Penghapusan pasal ini membuka ruang bagi monopoli paten yang merugikan pasien,” ujar Tony di Jakarta, Rabu (17/12).
Arni Rismayanti, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), mencontohkan obat Sildenafil yang digunakan untuk dua penyakit berbeda: disfungsi ereksi dan hipertensi paru. Dengan dihapusnya Pasal 4(f), satu senyawa yang sama dapat memperoleh dua paten, sehingga monopoli terus berlanjut dan harga tetap mahal. “Ini ancaman nyata bagi akses publik terhadap obat-obatan esensial. Ketika paten diperpanjang tanpa dasar inovasi yang jelas, harga obat tetap tinggi dan membebani pasien, keluarga, serta sistem JKN. Hal ini akan membuat negara kita semakin tertinggal dalam menyediakan terapi yang terjangkau bagi pasien penyakit-penyakit langka dan kronis,” tegasnya.
Irwandy Wijaya, dari Indonesia AIDS Coalition (IAC), mengungkapkan bahwa praktik pendaftaran paten sekunder telah menghambat akses terhadap obat-obatan penting seperti Bedaquiline untuk TB Resisten Obat (TB RO). “Paten utama Bedaquiline kadaluarsa pada tahun 2023, tetapi lima paten sekunder yang didaftarkan memperpanjang monopoli hingga 2036. Contoh ini juga terjadi pada obat HIV, hepatitis C, kanker, Diabetes Mellitus (DM), hingga COVID-19,” jelas Irwandy.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menegaskan bahwa Pasal 4(f) selama ini menjadi dasar hukum bagi masyarakat dalam mengajukan keberatan atau banding terhadap paten obat yang dianggap tidak memenuhi syarat. “Dengan dihapusnya pasal 4(f) dalam UU a quo, terjadi pelemahan pengawasan masyarakat atas paten obat perusahaan farmasi yang tidak memenuhi syarat paten. Padahal, paten obat adalah isu yang berkaitan langsung dengan nyawa manusia,” tegasnya.
Maulana juga menegaskan bahwa pada masa pandemi COVID-19 terlihat jelas bagaimana perusahaan farmasi dapat mengajukan paten baru untuk obat lama hanya karena ditemukan potensi penggunaan baru. “Tanpa perlindungan seperti Pasal 4(f), strategi seperti ini bisa menghambat produksi obat generik dan membatasi akses publik. Masyarakat sipil memiliki kekhawatiran mendalam atas dampak dari monopoli paten terhadap akses publik yang terjangkau ke obat-obatan. Oleh karena itu, kami mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi,” tutup Maulana.
Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan Pasal 4(f) sebagaimana diatur dalam UU Paten sebelumnya, demi memastikan hak masyarakat atas kesehatan tetap terlindungi dan tidak dikorbankan oleh kepentingan monopoli industri farmasi.


