Bendung tanah terbentuk di balik endapan longsor Pandanarum, risiko banjir bandang mengintai

Update: 2025-11-21 01:09 GMT

Musiubah longsor di Banjarnegara, November 2025

Ancaman banjir bandang akibat terbentuknya bendung tanah (landslide dam) kini menjadi fokus utama peringatan Tim Geologi - Disaster Emergency Response Unit UGM (DERU UGM). Ini terjadi setelah Tim Kodim dan BPBD menemukan beberapa rekahan baru yang terus bergerak.

Termasuk temuan sumber mata air berdebit besar (0.2 m /detik) di puncak bukit lokasi longsor di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kedua temuan ini menandakan bahwa tubuh lereng tengah mengalami kejenuhan air ekstrem yang dapat memicu pergerakan massa tanah secara tiba-tiba.

Pakar Geologi UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa aliran air dari sumber mata air baru tersebut berpotensi terakumulasi di balik material longsor lama, membentuk kolam alami yang sewaktu-waktu bisa jebol.

“Ancaman longsor susulan masih mengintai warga Desa Pandanarum, dan risiko banjir bandang kini meningkat secara signifikan,” ujarnya di Banjarnegara, Kamis (20/11/2025), dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Radio Elshinta.

Menurutnya, rekahan baru yang muncul mempercepat infiltrasi air hujan ke dalam massa tanah pada lereng. Ketika tekanan air pori meningkat, material yang sebelumnya stabil dapat terdorong turun dan menutup alur sungai kecil di bawahnya.

Kondisi ini adalah skenario klasik terbentuknya bendung tanah yang rawan jebol. Apabila dinding bendung tersebut tidak mampu menahan volume air yang terus bertambah, pelepasan tiba-tiba bisa mengakibatkan arus bandang berkecepatan tinggi menuju permukiman di zona bawahnya.

“Jika bendungan tanah itu jebol, alirannya tidak hanya membawa lumpur tetapi seluruh material longsoran yang sebelumnya. Dampaknya bisa jauh lebih luas dan kuat dibanding longsor awal, karena dipicu oleh desakan air kolam seluas lapangan sepakbola dg kedalaman sekitar 1.5 m jelasnya.

Bahaya ini semakin diperparah oleh keberadaan lapisan lempung biru (blue clay) yang miring ke arah luar lereng, yang ditemukan di bawah zona rekahan. Lapisan ini mengandung mineral lempung seperti montmorillonite, smectite, dan illite, yang sangat sensitif untuk mengembang bila terkena air. Saat kering ia sekeras batu, namun ketika jenuh air berubah menjadi material mirip pasta gigi yang sangat licin.

“Lempung biru ini dalam.terminologi geologi disebut serpih, membuat tumpukan tanah di atasnya mudah bergerak dan mempercepat terjadinya longsor berulang. Begitu jenuh air, kekuatan lempung tersebut hilang drastis,” jelas Dwikorita.

Hal tersebut pula yang menyebabkan gerakan tanah di Pandanarum tidak berhenti, bahkan terus bertambah meskipun longsor besar telah terjadi. Kombinasi antara rekahan baru, mata air berdebit besar, dan lapisan lempung biru menjadikan kondisi lereng sangat labil.

Melihat situasi ini, Tim Geologi UGM menilai bahwa prioritas utama adalah mencegah bertambahnya volume air di balik material longsor.

“Langkah darurat seperti pembuatan *sudetan pada tumpukan endapan longsor ,sebagai drainase sementara sangat penting untuk mengurangi tekanan air. Jika tidak, risiko jebolnya bendung tanah akan semakin besar,” tegas Dwikorita.

Ia juga meminta masyarakat tidak beraktivitas di dasar tebing, bantaran sungai kecil, lembah sempit, maupun jalur aliran air yang berpotensi menjadi lintasan banjir bandang. Dengan curah hujan tinggi beberapa hari terakhir, dan tingginya debit aliran mata air pada lereng mahkota longsoran, tekanan air pori di dalam lereng diperkirakan terus meningkat.

“Keselamatan harus lebih diutamakan. Menghindarlah dari area bawah lereng dan segera laporkan jika muncul rekahan baru atau aliran air yang tidak biasa. Bahaya di Pandanarum bukan hanya longsor, tetapi juga kemungkinan banjir bandang yang dapat terjadi mendadak,” tutupnya. (Vit/Ter)

Similar News