18 Oktober 1965: Jejak darah tragedi PKI Banyuwangi
Warga dan penyintas G30S/PKI membawa spanduk menuntut pembubaran PKI dalam aksi publik — kilas balik tragedi kelam 1965. (https://tinyurl.com/ycyt3rrm)
Ratusan warga Banyuwangi tewas dalam gelombang kekerasan massal yang terjadi pasca meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tragedi yang kemudian dikenal sebagai Tragedi PKI Banyuwangi ini menjadi salah satu catatan paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern.
Kekerasan bermula setelah pemerintah pusat menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang kudeta. Banyuwangi, yang kala itu memiliki banyak anggota organisasi yang berafiliasi dengan PKI seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) dan Pemuda Rakyat, menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak.
Ratusan bahkan ribuan orang yang dituduh terlibat PKI atau sekadar dicurigai, ditangkap tanpa proses hukum. Banyak di antara mereka dibunuh secara massal di berbagai lokasi di Banyuwangi — mulai dari hutan, sungai, hingga ladang tebu. Jenazah korban sering kali dibuang begitu saja tanpa identitas yang jelas.
Saksi-saksi sejarah menyebut bahwa peristiwa ini berlangsung antara Oktober hingga Desember 1965, dengan puncak kekerasan terjadi di sekitar tanggal 18 Oktober. Aparat keamanan bersama kelompok sipil anti-komunis melakukan “pembersihan” yang berlangsung dalam suasana ketakutan dan kekacauan politik.
Bagi masyarakat Banyuwangi, tragedi ini meninggalkan trauma mendalam yang bertahan selama puluhan tahun. Banyak keluarga korban memilih bungkam karena takut dianggap simpatisan. Pemerintah baru mulai membuka ruang diskusi dan rekonsiliasi pada era reformasi, meski hingga kini belum ada pengakuan resmi atau proses hukum terhadap pelaku kekerasan.
Tragedi Banyuwangi menjadi pengingat bahwa konflik ideologi yang tidak dikendalikan bisa berujung pada penderitaan kemanusiaan yang panjang. Hingga kini, setiap bulan Oktober, sebagian masyarakat dan aktivis hak asasi manusia di Jawa Timur masih menggelar doa dan refleksi untuk mengenang para korban.