Generasi Z banyak yang menganggur, Pemerintah dan pihak swasta perlu cari solusi
Penduduk muda Indonesia berusia 18-24 tahun banyak yang menganggur. Mereka yang disebut Generasi Z, rata-rata lulusan SMA dan S1 yang belum mendapatkan pekerjaan.
Elshinta.com - Penduduk muda Indonesia berusia 18-24 tahun banyak yang menganggur. Mereka yang disebut Generasi Z, rata-rata lulusan SMA dan S1 yang belum mendapatkan pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023, ada sekitar 9,9 juta penduduk muda Indonesia tidak terlibat dalam kegiatan apapun.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki Achmad, ST, MSIE, memaparkan sekitar 4,3 juta anak muda menganggur serta 4,7 juta mengurus rumah tangga.
“Sisanya yang mengkhawatirkan. Mereka masih undecided, nggak tahu mau ngapain. Nggak ada yang dikerjakan,” papar Maliki kepada Radio Elshinta, dalam acara Elshinta News and Talk, Rabu (19/6/2024).
“Pengangguran di usia muda selalu terjadi di beberapa generasi. Gen X, Milenial dan Gen Z. Rata-rata pada usaia 15-19 tahun. Para pencari pekerjaan di usia muda, terbanyak lulusan SMA atau SMK,” tambah Maliki.
Lebih lanjut, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas menjelaskan sebenarnya angka pengangguran menurun atau lebih kecil di usia yang lebih dari periode umur lulusan SMA. Diharapkan usia di atas 20 tahun angka pengangguran rendah sekitar 10 persen saja.
“Itu berarti sebagian dari mereka ada yang sudah dapatkan pekerjaan. Atau berpengalaman mencari tahu apa yang dibutuhkan pencari kerja. Mereka juga mungkin sudah dapat pelatihan sebelum kerja,” katanya.
Lantas adakah solusi tepat buat kondisi banyaknya Gen Z yang menganggur? Karena ini jelas meresahkan banyak kalangan. Apalagi negara ini bakal menghadapi Indonesia Emas di tahun 2045 yang akan datang.
Benarkah lapangan pekerjaannya memang kurang atau karena faktor perilaku Gen Z? Belakangan viral di media sosial kelakukan mereka yang dianggap kurang elok saat bekerja atau saat proses mencari pekerjaan atau rekrutmen.
Dalam kesempatan yang sama, Maliki menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi catatan. “Ya, bisa jadi belum dapat kerja karena tidak cocok antara keterampilan, jurusan sekolah. Mismatch masih tinggi. Perlu ada penyesuaian. Dari sisi kurikukum harus bisa menyesuaikan. Seharusnya diskusi dengan pihak industri atau yang bakal memberikan pekerjaan,” paparnya.
Namun, bagi Gen Z yang sudah terlanjur lulus dengan kondisi kurikulum seperti itu masih bisa menyesuaikan dengan mengikuti pelatihan.
Banyak Gen Z yang menjalani pelatihan dari biaya pemerintah atau kocek sendiri. Atau dari Perusahaan sendiri. Maliki juga menggarisbawahi keluhan masyakarat terkait persyaratan kerja yang dihadapi Gen Z.
“Di socmed ada keluhan perusahaan minta yang sudah pengalaman. Anak lulusan SMA, SMK dan S1 kan minim pengalaman. Memang seharusnya ini diseimbangkan oleh pemerintah dan swasta,” katanya.
Job training perlu dilakukan pihak perusahaan atau pemberi kerja. Sementara, kata Maliki proyek Magang Merdeka yang digelar pemerintah, salah satunya sudah membantu Gen Z menjalani pelatihan sebelum lulus dan bekerja penuh.
Soal perangai kurang elok Gen Z yang ramai diperbincangkan di media sosial, Maliki punya penjelasan sendiri. “Memang kemampuan life skill juga perlu dalam bekerja. Gen Z harus memperhatikan. Bagaimana sikap mereka terhadap pekerjaan. Etos kerja harus bisa dibangkitkan, kedisiplinan dan kemauan bekerja dengan giat.”
Menariknya Gen Z punya kemampuan menyerap dan menguasai teknologi yang jadi kelebihan mereka. (tel)