Jurnalisme Radio di Era Digital, masihkah dibutuhkan?
Radio bersifat fleksibel, mendengar radio bisa dilakukan bersamaan dengan hal lain, tanpa mengganggu aktivitas.
Elshinta.com - “Radio isn’t just about national news and national noise. This keeps people connected by enabling local communities to share experiences and support each other’’, Lord Ryder of Winsum, Vice Chairman BBC (2003)
Dalam rapat redaksi di Radio Elshinta yang dilakukan secara rutin, seringkali didapat informasi dari pendengar yang dinilai penting untuk ditindaklanjuti dan bersifat eksklusif karena hanya didapat dari pendengar tersebut. Misalnya, seorang anak menginformasikan kehilangan ibunya yang memiliki kebutuhan khusus. Redaksi kemudian memutuskan untuk menyiarkan info tersebut. Tidak berapa lama, seorang pengendara melaporkan bila ia melihat seorang ibu dengan ciri-ciri persis seperti yang telah disiarkan di Radio Elshinta. Akhirnya, sang ibu berhasil dipertemukan kembali dengan keluarganya. Informasi ini tidak terjadi begitu saja, namun ada peran tim redaksi yang menjadikan informasi itu sebagai prioritas untuk ditindaklanjuti. Itu adalah salah satu karakter dari jurnalisme radio.
Info tentang peristiwa kehilangan dan ditemukannya seorang ibu tadi adalah contoh nyata keterhubungan masyarakat, seperti yang disampaikan Lord Ryder (2003) dalam kutipan pembuka tulisan ini. Ini juga sebagai contoh kecil dari jurnalisme warga yang berkembang di siaran radio, karena radio itu bersifat sederhana, cepat dan langsung tanpa melalui proses yang rumit sehingga proses penyampaian pesannya, tidak membutuhkan waktu yang banyak, seperti televisi atau media cetak.
Radio bersifat fleksibel, mendengar radio bisa dilakukan bersamaan dengan hal lain, tanpa mengganggu aktivitas tersebut. Sifat radio yang sederhana, cepat dan langsung serta dapat dilakukan tanpa menggaggu aktivitas lain sejatinya sangat pas dengan keadaan sekarang yang serba cepat, efektif dan efisien oleh karena itu media radio akan sangat adaptif dan tidak akan hilang sejalan dengan perubahan yang terjadi.
Disrupsi Media Radio
Media termasuk media radio saat ini sedang mengalami disrupsi akibat kemajuan teknologi digital. Disrupsi teknologi digital adalah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi di Indonesia maupun global. Perkembangan teknologi digital ini mampu menggantikan pekerjaan manusia. Platform digital mampu mengubah produksi, distribusi dan iklan di media. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Web, mendefinisikan disrupsi sebagai ‘hal tercabut dari akarnya’. Istilah disrupsi merujuk pada perubahan besar dalam industri, pasar, atau model bisnis secara signifikan dan mendalam akibat munculnya inovasi, penggunaan teknologi baru, atau perubahan paradigma. Karena itu, disrupsi kerap dianggap sebagai pengganggu hal-hal yang sudah ada dan bertahan sejak lama.
Tantangan disrupsi di dunia radio terjadi paling nyata saat pandemi Covid 19 terjadi di Indonesia dan seluruh dunia. Hampir seluruh sendi aktivitas berhenti dan berimbas pada bisnis media radio yang tidak ada lagi ada asupan iklan sebagai ‘bensin’ pergerakan aktivitas media radio saat itu. Namun, di balik tantangan dan permasalahan yang ditimbulkan oleh disrupsi teknologi digital, maka di situlah muncul kesempatan atau opportunity. Setelah mengalami lay-off pengurangan karyawan, maka timbul ide-ide baru dalam penyelenggaraan siaran. Radio mulai menggunakan teknologi yang tadinya hanya digunakan sebagai pendukung, kini teknologi menjadi backbone industri siaran radio. Radio kini dapat beroperasi dengan menggunakan teknologi informasi digital, dengan mengubah cara bekerja yang konvensional menjadi lebih modern.
Salah satu contoh yang kini terjadi adalah seorang penyiar dapat bekerja di manapun, tanpa harus datang ke ruang atau studio siaran. Sepanjang memiliki kuota dan dapat mengakses internet serta dibekali aplikasi digital tertentu, penyiar dapat mengudara (open mic) sama halnya seperti ketika ia berada di studio siaran. Begitu juga produser dan koordinator liputan dapat bekerja di tempat yang berbeda namun tetap terkoneksi dalam berkoordinasi tetang isi siaran yang akan dan sedang digarap. Yang lebih menarik lagi adalah live reportage dan wawancara yang dilakukan oleh jurnalis radio kini tidak hanya dihasilkan dalam format audio, tetapi juga dapat dilakukan dengan konsep onair-online sehingga sang reporter di lapangan dapat terlihat wujudnya dan dapat memberikan ambience audio dan gambar, dan masyarakat dapat mengetahui dengan melihat dan mendengar. Artinya disrupsi yang terjadi tidak hanya menghadirkan masalah, tetapi di sisi lain justru dapat memberikan hal lebih untuk audiens/pendengar radio.
Kini mereka bukan hanya mendengar audio tapi juga dapat mengetahui secara langsung gambar-gambar peristiwa yang terjadi saat itu juga dengan bantuan teknologi digital. Radio dan televisi bisa makin sinergis.
Jurnalisme Media Radio
Jurnalisme selalu terpengaruh oleh perubahan teknologi. Alexander Graham Bell, ilmuwan penemu telepon, tidak hanya mengubah cara komunikasi secara luas, tetapi juga membuat seorang jurnalis bertransformasi dalam mengumpulkan dan melaporkan berita. Sampai saat ini kebaruan itu terus berkembang, misalnya, melakukan wawancara narasumber melalui telepon, menggunakan voice note di aplikasi, atau melaporkan berita kepada khalayak dengan menggunakan telepon atau aplikasi Zoom. Selain itu, cara khalayak menggunakan media massa juga berubah. Digitalisasi dan Internet telah mempermudah masyarakat dalam menggunakan media massa untuk mencari hiburan dan informasi.
Telepon genggam kini tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun telah dilengkapi berbagai fitur media baru salah satunya streaming radio. Dalam konteks itu, teknologi bisa memengaruhi jurnalisme dalam empat hal. Pertama, cara kerja para jurnalis dalam mencari informasi. Kedua, sifat konten berita. Ketiga, struktur organisasi media di dalam ruang redaksi. Keempat, sifat hubungan antara media, reporter dengan sejumlah publik seperti khalayak (audience), kompetitor, sumber berita, sponsor, serta regulasi yang dapat mengendalikan pers (Pavlik, 2010, 229).
Pengertian jurnalisme radio adalah teknik dan proses pembuatan dan penyebarluasan informasi khususnya berita melalui radio dengan menggunakan suara dan bahasa lisan (Asep, 2004:27). Bahasa jurnalisme adalah bahasa yang digunakan oleh insan radio yang sesuai dengan kode etik jurnalisme (Syaiful, 2004:56). Sedangkan menurut Bahari (2005:23) bahasa jurnalisme radio adalah bahasa yang digunakan oleh radio dalam menyiarkan informasi kepada khalayak pendengar sesuai dengan aturan bahasa jurnalisme radio. Oleh karena itu bahasa jurnalisme disebut juga bahasa pers. Bahasa pers merupakan laras bahasa yang dimiliki oleh wartawan serta mempunyai ciri khas seperti singkat, padat, jelas, informatif dan menarik.
Jurnalisme radio dapat dilihat dari format siaran, yang mana berita isi siarannya diperoleh dari reporter, tim redaksi dan informasi dari pendengar. Reporter mencari berita dari berbagai lokasi liputan yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh tim redaksi untuk didalami, diperkaya isinya dengan mengundang narasumber yang terkait peristiwa itu secara langsung, atau dapat pula menghadirkan narasumber ahli untuk memperkaya wawasan pendengar atas topik yang dibahas.
Sebuah siaran radio berita setidaknya harus memenuhi dua unsur, yakni ‘need and curiousity’ (kebutuhan dan keingintahuan) masyarakat atau pendengar. Jika sebuah peristiwa menjadi ‘kebutuhan’ pendengar, maka bisa dipastikan berita yang disajikan dalam siaran radio akan menjadi menu utama untuk didengarkan, bahkan akan ditunggu update informasinya. Begitu juga dengan ‘keingintahuan’, mungkin berita yang disajikan bukan merupakan kebutuhan pendengar, namun pendengar merasa penting untuk mengetahuinya karena berita tersebut menjadi perbincangan banyak orang. Misalnya ketika ramai-ramai fokus perhatian masyarakat tertuju pada Citayam Fashion Week, maka radio berita perlu mengangkat topik itu walaupun tidak menjadi kebutuhan ‘need’ dari pendengarnya. Selain itu tentang ‘Drama Ferdi Sambo’, yang berhari-hari, bahkan berbulan-bulan menjadi trending topics, maka radio perlu juga meng-update beritanya, karena ini adalah bagian dari keingintahuan pendengar.
Dalam penyajian materi isi siaran, radio berita harus memiliki unsur-unsur kelengkapan redaksi untuk mengisi program-program beritanya. Maka dibutuhkan Penyiar atau Anchor yang bertugas men-delivery informasi dari pendengar, reporter dan narasumber. Materi berita disiapkan oleh tim ‘belakang layar’ yakni Produser (PD), Koordinator Liputan (Korlip), Listener Service Officer (Petugas Layanan Pendengar/gatekeeper) dan Produser Eksekutif (EP/ Executive Producer). Masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam menggarap sebuah berita.
Proses dalam menentukan konten pemberitaan adalah rapat redaksi yang dihadiri oleh seluruh anggota kelengkapan redaksi. Dalam rapat itu seluruhnya memberikan usulan topik dan update berita yang dapat disajikan pada siaran radio. Usulan tersebut akan dirumuskan oleh EP menjadi list kerja PD yang melibatkan reporter, Korlip dan Listener Services Officer. Setelah perumusan selesai, hal lain yang secara serius dibahas adalah packaging penyajian berita di radio. Untuk merumuskannya maka tim redaksi harus memahami target pendengar yang harus disasar, jika target pendengarnya adalah kalangan mudamaka packaging harus lebih cair, informal tapi tetap menjunjung kaidah jurnalisme yang berpegang pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sesuai Surat Keputusan Dewan Pers nomor: 03/SK-DP/ III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik.
Algoritma Jurnalisme Radio
Media baru atau new media merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai teknologi komunikasi dengan digitalisasi dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi (McQuail, 2011:148). Media baru muncul dari berbagai inovasi media lama yang kurang relevan lagi dengan perkembangan teknologi di masa sekarang. Pada era sekarang ini jaringan internet sangat memudahkan orang dalam mengakses bentuk-bentuk baru dari media komunikasi. New media mencakup berbagai aspek. Pertama, sebagai hiburan, kesenangan, dan pola konsumsi media. Kedua, new media merupakan cara baru dalam merepresentasikan dunia sebagai masyarakat virtual. Ketiga, merupakan bentuk hubungan baru antara pengguna dengan teknologi media. Keempat, merupakan sebuah pengalaman baru dari gambaran baru seseorang, identitas dan komunitas. Kelima, merupakan konsepsi hubungan biologis tubuh dengan teknologi media. Dan yang terakhir, mencakup budaya media, industri, ekonomi, akses, kepemilikan, kontrol, dan regulasi.
Kini hampir seluruh media radio memiliki akun media sosial sebagai sarana penyampai berita ke masyarakat luas sebagai tuntutan perkembangan zaman dan behaviour khalayak/audiens yang telah berubah. Sebagian besar masyarakat zaman ini tidak lagi mengeluarkan effort lebih untuk mencari berita ke situs-situs berita tertentu, namun media sosial sudah berperan aktif dengan menyuguhkan berita di akun-akun media sosialnya. Proses seperti ini berjalan terus menerus seperti ‘meninabobokan’ masyarakat dalam mengonsumsi berita-berita yang disajikan di timeline media sosialnya masing-masing.
Dalam laporan Hootsuite “Digital 2023 Indonesia” dari total populasi (jumlah penduduk Indonesia) 276,4 juta, ada 353,8 juta (128% dari total populasi) yang terhubung dengan perangkat mobile, sementara pengguna internet sebanyak 212,9 juta (77% dari total populasi) dan pengguna media sosial aktif sebanyak 167 juta (60,4% dari total populasi). Artinya terjadi banyak kerumunan di media sosial yang dapat dikonversi menjadi pendengar radio. Hal ini menjawab permasalahan disrupsi di media radio yang pendengarnya dari tahun ke tahun terus menurun, yakni dengan melakukan akuisisi pengguna medsos mejadi pendengar radio maka jumlah pendengar akan terus stabil. Bahkan dapat bertambah dibandingkan radio-radio sejenis, hal inilah yang dilakukan Radio Elshinta sebagai radio berita yang meluaskan penyebaran isi siarannya dengan menggunakan kanal media sosialnya. Sebagai bukti dari strategi tersebut adalah survei AC Nielsen, sebagai satu-satunya survei yang digunakan dunia radio di Indonesia. Pada Juli 2023, hasil survei AC Nielsen menempatkan Radio Elshinta sebagai radio berita terpopuler di Jakarta dan sekitarnya dengan pendengar mencapai 1,658 juta.
Padahal, Radio Elshinta adalah satu-satunya radio (di Jakarta) yang menyajikan isi siarannya berupa berita dan informasi tanpa memutar lagu dan bersiaran selama 24 jam dengan mengusung format News And Talk Radio.
Dari data yang tersaji di atas, muncul pertanyaan, bagaimana Radio Elshinta bisa mempertahankan, bahkan meningkatkan jumlah pendengar di tengah persaingan di dalam industri radio yang ketat dan munculnya media siniar (podcast) sebagai media alternatif yang populer di kalangan netizen muda(persaingan dengan eksternal)?
Tentu akan membutuhkan tulisan yang panjang dan kompleks untuk menjelaskannya. Namun, secara singkat dapat dijelaskan bila redaksi Elshinta sejauh ini telah menjadikan algoritma jurnalisme radio sebagai kebutuhan dalam memilih dan menentukan isi siaran. Hal tersebut dilakukan agar radio (baca: redaksi) adaptif terhadap kebutuhan berita para pengguna media sosial.
Tim redaksi harus memahami tren isu atau topik pemberitaan yang terjadi sehingga pilihan materi yang diangkat di radio ketika akan dijadikan konten di media sosial bisa sejalan dengan fenomena trending atau viralitas yang sedang terjadi. Dengan kata lain, arah pemberitaannya selalu mengacu pada isu atau topik yang sedang menjadi perhatian atau perbincangan hangat di media sosial dan internet. Sehingga para netizen atau pengguna medsos juga bisa menyimak isu atau topik pembahasan yang sedang trending tersebut secara aktual dan faktual di Radio Elshinta. Mereka bahkan bisa ikut berinteraksi dengan narasumber karena radio menyajikan pembahasan tersebut secara open line (interaktif). Dampaknya apa? Engagement (ketertarikan dan keterikatan) dari pengguna medsos akan terjadi secara alami karena radio menyajikan konten yang sesuai dengan tren yang terjadi dan ini sangat berpotensi ‘mengakuisisi’ pengguna medsos untuk menjadi pendengar radio, karena akun yang memposting berita itu adalah akun media sosial radio.
Namun sebaliknya, jika tidak mengikuti tren di media sosial maka berita yang diangkat haruslah berita yang pertama dan eksklusif dimana media-media lain belum mengangkatnya, sehingga berita tersebut akan menjadi perhatian pedengar di radio dan perhatian pengguna media sosial.
Jurnalisme Radio masih Diperlukan?
Pertanyaannya kemudian adalah bila isi atau konten pada radio berita seperti Elshinta tidak jauh berbeda, bahkan nyaris sama dengan yang ada di media sosial atau dunia maya, apakah jurnalisme radio masih dibutuhkan oleh audiens? Untuk apa audiens membuang-buang waktu mendengarkan berita radio bila isinya sama dengan yang trending atau viral di media sosial? Pertanyaan ini rasanya tidak perlu dijawab jika mencermati apa yang telah dipaparkan dalam tulisan ini.
Sekali lagi, jurnalisme radio masih diperlukan karena dapat mengisi ruang kosong yang tidak dapat digantikan oleh media lain. Berita di radio atau siaran radio yang berisi berita baik itu straight news, feature maupun perbincangan semua dikemas dalam bentuk audio, maka ketika disiarkan pendengar dapat menyimaknya tanpa harus menghentikan aktivitas yang sedang dikerjakan. Pendengar yang sedang beraktivitas di kantor dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mendengarkan siaran radio, pengendara yang sedang menuju tempat aktivitas sambil menyetir dapat meng-update wawasan berita dengan hanya mendengarkan berita lewat tape mobil atau streaming radio yang di-pairing ke tape mobil yang kini setiap mobil telah memiliki fitur bluetooth dan sebagainya.
Tidak hanya itu, sepanjang internet bisa dinikmati dengan syarat harus memiliki kuota atau saldo tertentu alias tidak gratis, maka radio tetap akan diperlukan. Selain gratis, media radio juga bisa lebih dipercaya dan diandalkan dalam menyajikan berita dan informasi secara aktual, akurat dan terpercaya. Karena jurnalis radio sudah melewati proses pelatihan dan pendidikan yang diberikan oleh Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Karena radio yang diudarakan melalui frekuensi publik memiliki kewajiban moral, sosial dan administrasi untuk mempertanggungjawabkan isi dan program siarannya. Dalam konteks ini, keunggulan radio bahkan bisa dijadikan sebagai media konfirmasi atau klarifikasi dari hoaks atau kabar bohong yang tersebar di media sosial dan dunia maya.
Minat pendengar dalam program Info dari Anda dan Elshinta On The Road di Radio Elshinta adalah sebuah bukti bahwa interaksi pendengar tidak ada henti-hentinya. Setiap saat ada saja hal-hal baru diinformasikan oleh pendengar. Ketika pembahasan topik pun, pendengar radio maupun streaming selalu aktif dalam memberikan pendapat, masukan, dan komentarnya. Pendengar menanggapi dengan perspektif yang berbeda-beda, ini menandakan siaran radio yang membahas berita masih dibutuhkan.
Ibu Miko pendengar Radio Elshinta yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan menuturkan, “Jurnalisme radio tentu masih dibutuhkan karena beritanya akurat, cepat, jelas. Diskusi dalam program Elshinta News & Talksangat mencerahkan”. Begitu juga dengan Pak Levi pendengar yang tinggal di Bekasi Jawa Barat menuturkan “Isi siaran berita di radio masih sangat dibutuhkan”. Ardi pendengar yang tinggal di wilayah BSD Tangerang Banten menilai, keberadaan produk jurnalisme radio masih sangat diperlukan. “Karena media radio berbeda dengan media lain, dapat diakses dengan mendengarkannya tanpa harus mengganggu aktivitas saya, dan jurnalisme di radio relatif cepat dan aktual karena dapat mendengar langsung dari reporter serta kejadan-kejadian yang dilaporkan pendengar dan dilengkapi penyiar”. Sementara itu Pak Okta di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat mengatakan jurnalisme di radio masih sangat dibutuhkan. “Sangat dibutuhkan, di samping itu sebagai penyambung suara dan keinginan rakyat yang sejujurnya”. Pak Hasbiallah di Bogor, Jawa Barat mengatakan bahwa radio adalah sarana informasi yang mudah didengar oleh seluruh kalangan masyarakat yang membutuhkan berita. “Baik bagi kaum muda-mudi dari usia 16 tahun hingga usia senja. Berita sangat mudah di dapat melalui Radio Elshinta saat dalam perjalanan ketika berangkat kerja maupun pulang kerja”. Sementara Pak Teddy di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat mengatakan, “Sangat dibutuhkan di desa desa, orang jadi pada cerdas gara-gara Elshinta. Pokoknya maju terus, rakyat di belakangmu. Tapi kritik dikit ya di sekitar rumah saya kok jam 12 malam sudah hilang? “
Sejumlah pengakuan masyarakat yang merupakan pendengar Radio Elshinta mengungkapkan bahwa berita yang disajikan sebagai isi siaran sangat diminati dan dibutuhkan, ini menjawab bahwa jurnalisme radio saat ini masih sangat relevan. Jika dikaitkan dengan era digital. Siaran radio juga harus mengikuti perkembangan zaman, penggunaan siaran yang berbasis digital juga harus dipenuhi untuk melayani pendengar yang mendengarkan siarannya via streaming radio dan rata-rata radio di Indonesia kini sudah memiliki fasilitas streaming radio. Jadi jurnalisme radio masih diperlukan dan masih sangat relevan. Selamat mendengarkan berita di radio
*) Haryo Ristamaji adalah seorang jurnalis senior radio. Saat ini menahkodai Radio Elshinta sebagai Pemimpin Redaksi. Penyandang gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Gunadarma, Jakarta, ini juga sebagai anggota Kelompok Kerja pada Komisi Pendidikan, Dewan Pers. Sebagai jurnalis senior, pemegang sertifkat Wartawan Utama, Haryo juga menjadi penguji Uji Kompetensi Wartawan untuk media radio.