Kritik JPPI soal rencana pemerintah bangun Sekolah Unggulan

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritisi rencana pemerintah membangun sekolah unggulan baru untuk para pelajar Indonesia, yakni Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat.  Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai wacana tersebut malah menimbulkan kesenjangan kualitas pendidikan dan diskriminasi.

Update: 2025-01-16 21:53 GMT
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji (Foto : Dokumentasi Radio Elshinta, Alif Rahman)

Elshinta.com - 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritisi rencana pemerintah membangun sekolah unggulan baru untuk para pelajar Indonesia, yakni Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai wacana tersebut malah menimbulkan kesenjangan kualitas pendidikan dan diskriminasi.

"Akan memperparah ketimpangan kualitas pendidikan. Layanan pendidikan kita mestinya berkeadilan setara untuk seluruh anak Indonesia. Tetapi ini dibeda-bedakan, seperti sekolah zaman kolonial, ini kelompok ningrat, bangsawan, ini pribumi dan sebagainya. Iu yang kita sebut sebagai segregasi,” terang Ubed kepada Radio Elshinta, Kamis (16/1/2025)

Menurut Ubed, wacana pengelompokan sekolah tersebut juga menyalahi UU, di mana pemerintah wajib menyelenggarakan akses pendidikan yang setara. Ubed juga mengingatkan nasib Sekolah Unggulan dan Sekolah Rakyat (SR) tersebut bisa saja seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang berakhir kandas di tangan MK.

"Kita punya preseden buruk. RSBI itu kan dihapus oleh MK, karena melanggar konstitusi. Ini kok ada sekolah khusus, padahal mestinya sekolah itu inklusif, semua anak indonesia bisa sekolah di situ. Tapi kenapa ada sekolah khusus hanya untuk kelompok menengah ke atas? sehingga keputusan MK yaitu melanggar UU 45 Pasal 31. Ini kalau dijalankan nasibnya potensial sama seperti RSBI,” jelas Ubed.

Berdasar hasil assessment nasional dan Programme for International Student Assessment (PISA), kualitas pendidikan di Indonesia belum merata. Tapi terjadi kesenjangan antar sekolah, antar desa dan kota. Sekolah tertentu skornya tinggi, tetapi sekolah lain skornya rendah. Jika dirata-ratakan secara naisonal skornya menjadi rendah.

"Kita terendah di Asia Tenggara, di dunia. Rata-rata dunia saja belum sampai,” kata Ubed.

Ubed memberi masukan agar sebaiknya wacana tersebut diarahkan kepada rencana pembangunan nasional, tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGS), dan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.

"Semua dapat kesempatan yang sama, sekolah unggulan harus diwujudkan di Indonesia, tetapi semua sekolah di Indonesia harus unggulan, bukan satu dua titik,” imbuhnya.

Penulis: Anton R/Ter

Tags:    

Similar News