Tantangan mewujudkan keadilan dalam pajak e-commerce
Pajak sering kali dianggap sebagai momok oleh pelaku usaha kecil. Padahal, dalam praktik terbaiknya, pajak adalah instrumen keadilan.
Elshinta.com - Pajak sering kali dianggap sebagai momok oleh pelaku usaha kecil. Padahal, dalam praktik terbaiknya, pajak adalah instrumen keadilan.
Ketika negara mampu merancang sistem perpajakan yang inklusif dan mudah diakses, maka pajak justru menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi, bukan penghambat.
Inilah semangat yang mendasari wacana lama yang kini kembali mengemuka terkait pelibatan platform e-commerce sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) bagi para pedagang daring.
Wacana ini bukan hal baru. Pemerintah pernah berencana menerapkannya pada 2018 melalui PMK Nomor 210 Tahun 2018. Namun, regulasi itu dicabut setahun kemudian karena dianggap belum matang, baik secara teknis maupun kesiapan ekosistem digital.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kemenkeu Febrio Kacaribu juga menyampaikan, pungutan tersebut sebelumnya sudah banyak diterapkan di berbagai platform seperti Google, Netflix dan sebagainya. Melalui kebijakan ini pihaknya ingin menambah kemitraan dengan e-commerce sebagai pemungut pajak.
Kini, lebih dari lima tahun berselang, kondisi pasar digital Indonesia telah berubah drastis. Jumlah pengguna e-commerce melonjak, pelaku usaha mikro makin banyak yang migrasi ke platform digital, dan digitalisasi UMKM menjadi prioritas nasional.
Maka, rencana melibatkan platform digital sebagai jembatan pembayaran pajak kini bukan hanya relevan, melainkan mendesak.
Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, dalam sebuah kesempatan pernah menekankan bahwa kerangka hukum untuk kebijakan ini sebenarnya sudah tersedia.
Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan memperbolehkan Menteri Keuangan menetapkan badan tertentu, dalam hal ini platform digital, untuk memungut pajak dari pelaku usaha.
Dalam konteks fiskal, urgensinya pun nyata. Target penerimaan pajak penghasilan dalam APBN 2025 mencapai Rp1.209 triliun atau lebih dari 40 persen total pendapatan negara. Mengoptimalkan sektor e-commerce, yang selama ini relatif longgar pengawasannya, menjadi kebutuhan struktural dalam memperluas basis pajak.
Namun yang jauh lebih penting dari sekadar tambahan penerimaan negara adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Banyak pelaku usaha kecil selama ini kebingungan mengurus pajak secara mandiri.
Bagi mereka, perpajakan identik dengan prosedur yang rumit, informasi yang tidak transparan, dan beban administrasi yang terasa memberatkan.
Maka, ketika platform tempat mereka berdagang diberi mandat membantu proses pembayaran pajak, justru di situlah letak kemudahannya, tidak perlu repot menghitung sendiri, tidak perlu mendatangi kantor pajak, cukup melalui sistem yang telah mereka gunakan sehari-hari.
Apalagi, dalam kebijakan yang berlaku sekarang, beban pajak ini tergolong sangat ringan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, Wajib Pajak orang pribadi dibebaskan dari PPh selama penghasilan setahun tidak melebihi Rp500 juta.
Jika pun melebihi, hanya selisihnya yang dikenai tarif 0,5 persen. Sebagai ilustrasi, bila seseorang berpenghasilan Rp1 miliar dari e-commerce dalam satu tahun, pajak yang dibayarkan hanya Rp2,5 juta.
Untuk Wajib Pajak badan, tarif 0,5 persen berlaku hingga batas omzet Rp4,8 miliar. Artinya, negara sudah memberi insentif yang besar agar pelaku usaha kecil tidak merasa terbebani.
Insentif Fiskal
Masalah yang sering dikhawatirkan adalah potensi kenaikan harga barang akibat pemungutan pajak ini. Namun logikanya tidak sesederhana itu. Pajak yang dikenakan bukan terhadap produk, melainkan terhadap penghasilan.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi pedagang untuk menaikkan harga kecuali memang ingin mengalihkan beban pribadi kepada konsumen. Dan jika itu dilakukan, dalam iklim persaingan terbuka seperti e-commerce, pelaku usaha tersebut justru berisiko kalah bersaing.
Penjual lain yang tidak menaikkan harga bisa lebih menarik pembeli. Jadi pasar akan mengoreksi sendiri perilaku yang tidak efisien.
Selain itu, regulasi ini tidak menghadirkan kewajiban baru, tetapi mempermudah kewajiban yang sebenarnya sudah ada. Yang berubah hanya cara pembayaran, dari manual menjadi otomatis dan dibantu oleh platform, sehingga anggapan bahwa akan ada tekanan baru terhadap pelaku UMKM digital tidak berdasar.
Justru, lewat sistem ini, penjual dapat lebih tertib administrasi dan secara bertahap membangun kredibilitas sebagai pelaku usaha formal.
Hal ini penting jika mereka suatu saat ingin mengakses pembiayaan perbankan, investor, atau ekspansi ke luar negeri, semuanya mensyaratkan rekam jejak pajak yang baik.
Yang harus diantisipasi dengan serius adalah potensi pemindahan beban dari platform kepada penjual. Karena itu, sebagaimana disarankan oleh Christiantoko, pemerintah harus menjamin agar pelibatan platform tidak menjadi dalih bagi mereka untuk menaikkan biaya layanan atau administrasi.
Bila perlu, negara bisa memberi insentif fiskal kepada platform yang berpartisipasi dalam program ini. Dengan begitu, tidak hanya penjual yang terbantu, tetapi juga penyedia layanan digital merasa dihargai kontribusinya dalam memperkuat sistem pajak nasional.
Lebih jauh, langkah ini juga memberi sinyal penting bagi modernisasi sistem perpajakan nasional. Bangsa ini telah lama bicara tentang digitalisasi fiskal, tetapi terlalu banyak aspek perpajakan yang masih manual, memakan waktu, dan membingungkan.
Padahal dengan memanfaatkan ekosistem digital yang sudah mapan, Indonesia bisa mengejar model pajak yang lebih efisien seperti yang diterapkan di negara-negara maju.
Di Inggris, Australia, dan Korea Selatan, sistem pembayaran pajak secara daring melalui platform sudah lama menjadi praktik umum yang menguntungkan semua pihak.
Penerapan kebijakan ini pun tidak perlu berlangsung kaku. Pemerintah bisa mengujicobakan terlebih dahulu pada platform besar seperti Tokopedia, Shopee, atau Bukalapak, dan secara bertahap diperluas.
Monitoring berkala dan evaluasi dampak terhadap harga, omzet, dan beban administrasi penjual bisa menjadi dasar penyesuaian.
Jika dilakukan dengan transparan dan melibatkan pemangku kepentingan, skema ini bisa membentuk ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pelaku usaha kecil.
E-commerce telah menjadi wajah baru ekonomi rakyat. Di balik setiap etalase digital, ada warung, usaha rumahan, dan kerja keras individu yang berjuang di tengah ketidakpastian.
Sudah waktunya negara hadir bukan hanya dengan instrumen pengawasan, tetapi dengan sistem yang memudahkan, memproteksi, dan memajukan.
Pemungutan pajak melalui platform digital adalah salah satu jalan ke sana. Jalan yang tidak selalu mudah, tapi sangat mungkin ditempuh jika keberpihakan menjadi kompas utama.