Negara yang perjuangkan kemaslahatan wajib didukung

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni\\'am Sholeh menyatakan secara tegas bahwa negara yang mendukung kemaslahatan harus didukung oleh semua pihak.Hal ini disampaikannya saat acara pembukaan Internasional Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu (26/7/2025), demikian dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Elshinta.

Update: 2025-07-26 20:28 GMT
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni\\'am Sholeh di embukaan Internasional Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu (26/7/2025), Foto: Istimewa

Elshinta.com - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menyatakan secara tegas bahwa negara yang mendukung kemaslahatan harus didukung oleh semua pihak.Hal ini disampaikannya saat acara pembukaan Internasional Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu (26/7/2025), demikian dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Elshinta.

"Hari ini kita bertemu, bersinergi, saling menguatkan antara kekuatan negara dan agama dalam relasi yang simbiotik. Saling dukung untuk mewujudkan kemaslahatan. Bagaimana praktik kenegeraan kita; apakah sudah mewujudkan kemaslahatan? Dan apakah agama sebagai pelita sudah optimal menyinari ulil amri? Jika terbukti mendatangkan maslahat dan tidak melanggar syariat harus didukung. Fatwa hadir memberi penguatan. Sebaliknya, jika mendatangkan mafsadah, Fatwa hadir mengingatkan dan memperbaiki, dengan komitmen ishlah. Tentu dengan penuh hikmah," katanya.

Prof Ni'am menjelaskan, relasi hubangan ulama terhadap umaro adalah dengan mendukung kebijakan yang mewujudkan kemaslahatan, dan memberikan masukan dalam rangka islah (perbaikan) kepada sebuah kebijakan. "Tugas dan kewajiban kita untuk memberikan penguatan jika kebijakan negara diambil untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariah. Kabinet Merah Putih punya konsen tentang perwujudan kemaslahatan, seperti kebijakan MBG, Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, pemeriksaan kesehatan, dan program populis lainnya," jelasnya.

Akan tetapi, tambahnya, bisa  jadi kebijakan negara yang ditujukan untuk kemaslahatan, ternyata membentur aturan keagamaan, maka agama perlu hadir untuk mengingatkan dan memperbaiki agar kebikajan publik benar-benar maslahat. “Bahkan bisa jadi kebijakan negara, termasuk pembentuk Undang-Undang, saat merumuskan aturan ternyata bertentangan dengan aturan agama, maka perlu diingatkan dan diperbaiki. “Di sinilah peran MUI dengan fatwa-fatwanya hadir dalam menjalankan tugas kemitraan dengan Pemerintah”, ujarnya.

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mencontohkan ketika momen fatwa MUI membetulkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 43 ayat (1).  Dalam undang-undang tersebut, diatur kedudukan anak di luar pernikahan, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya. Tentu ini sesuai dengan hukum fikih Islam.

"Lalu muncul Putusan MK di Februari 2012 yang mengubah norma dengan menetapkan bahwa  anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi. Ini jelas bertentangan dengan fikih. Sementara putusan MK final dan binding, secara otomatis berlaku. Fatwa MUI hadir menchallange dan mengoreksi, bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Fatwa ini kemudian menjadi rujukan hakim Agama," paparnya.

Prof Ni'am menegaskan, pada 2012 MUI menetapkan fatwa bahwa wajib hukumnya taat kepada ulil amri, meski ketaatan tersebut tidak mutlak dan absolut. "Begitu ulil amri merumuskan kebijakan, dan tasharufnya untuk kemaslahatan, wajib hukumnya taat. Tapi, ketaatan itu dengan 3 syarat,  tasharufnya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, berorientasi pada kemaslahatan umum, dan jika terkait dengan substansi keagamaan, maka harus dimusyawarahkan dengan lembaga keagamaan yang berkompeten," tuturnya.

Kegiatan ACFS ke-9 telah dibuka secara langsung oleh Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar. Kegiatan ini bakal digelar pada Sabtu-Senin, 26-28 Juli 2025 di Hotel Sari Pacific, Menteng, Jakarta Pusat, dengan mengangkat tema "Peran Fatwa Dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa."

Sejumlah tokoh hadir dalam kegiatan ini, antara lain Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Ketua BAZNAS RI Noor Ahmad, Ketua MK 2003-200 Jimly Asshidiqie, Hakim Agung Mahkamah Agung Imran Rasyadi, Guru Besar Ilmu Hukum UI Heru Susetyo, Guru Besar Ekonomi Islam UIN Bandung Jaih Mubarak, Guru Besar Ushul Fiqh UIN Yogyakarta Shofiyullah Muzammil, Sekjen Fatwa Darul Ifta Mesir Syeikh Owaidlah Utsman, dan MKI Malaysia Arif Saleh Rosman.

Kegiatan ini diikuti oleh 125 orang pengkaji, akademisi, dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi, Ma’had Aly, lembaga fatwa Ormas Islam serta pimpinan dan anggita Komisi Fatwa yang mengkaji secara khusus tentang fatwa-fatwa MUI. (Suw/Ter)

Tags:    

Similar News