Menteri PPPA puji inisiatif Khofifah soal perlindungan perempuan-anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia Arifah Fauzi memuji terobosan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang menggagas kerja sama multisektor pertama di Indonesia untuk perlindungan perempuan dan anak.
Elshinta.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia Arifah Fauzi memuji terobosan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang menggagas kerja sama multisektor pertama di Indonesia untuk perlindungan perempuan dan anak.
“Inisiatif seperti ini harus menjadi role model nasional dalam mewujudkan perlindungan perempuan dan anak yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujarnya dalam keterangan diterima di Surabaya, Rabu.
Kerja sama dituangkan dalam Kesepakatan Bersama Pemenuhan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak di Jawa Timur Tahun 2025. Penandatanganan dilakukan bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, Panitera PTA Surabaya, serta organisasi perempuan seperti Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah Jatim.
Serentak, Kepala Dinas P3AK kabupaten/kota se-Jatim juga menandatangani kerja sama dengan Ketua Pengadilan Agama masing-masing. Selain kepada Khofifah, Arifah juga berterima kasih kepada semua pihak terkait kerja sama untuk perlindungan perempuan dan anak tersebut.
“Terima kasih Gubernur Khofifah, terimakasih Pengadilan Tinggi Agama dan terimakasih semuanya dalam mewujudkan generasi hebat, berkualitas untuk Indonesia emas 2045,” tambahnya.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyebut kerja sama ini sebagai langkah strategis memperkuat sinergi multisektor demi menciptakan ekosistem yang adil bagi perempuan dan anak.
“Kolaborasi menjadi kunci. Kita ingin membangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi perempuan dan anak, tidak sektoral, tetapi menyeluruh dan melibatkan semua unsur,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya pendekatan pentahelix yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, media, dan masyarakat.
“Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya persoalan moral dan sosial, tapi juga perlu respons hukum, psikologis, dan kultural secara bersamaan,” katanya.
Khofifah juga menekankan pentingnya pendekatan proaktif, berpihak pada korban, melalui penguatan pencegahan, edukasi, dan layanan yang mudah diakses. Ia menyebut segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, maupun ekonomi terhadap perempuan dan anak, harus ditangani secara sistematis.
Data dari PTA Surabaya menunjukkan mayoritas perkara perceraian di Jatim diajukan oleh pihak istri, menunjukkan perempuan masih berada dalam posisi rentan secara ekonomi, psikologis, dan sosial. Angka perceraian di Jatim tercatat 79.270 kasus (2023), 79.309 kasus (2024), dan 38.087 kasus (Januari–Juni 2025).
Sementara dispensasi kawin meski menurun tetap tinggi, yakni 15.095 kasus (2022), 12.334 kasus (2023), dan 8.753 kasus (2024), mayoritas melibatkan anak perempuan yang hamil di luar nikah atau mengalami tekanan budaya.
Khofifah mengapresiasi keterbukaan data dari PTA Surabaya dan berbagai inovasi layanan pasca-perceraian oleh pengadilan agama di daerah.
“Masa depan Jawa Timur tidak hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan infrastruktur, tetapi oleh bagaimana kita memperlakukan perempuan dan anak-anak hari ini,” katanya.