Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus

 Jika di banyak tempat perayaan 17 Agustus identik dengan lomba sederhana di halaman rumah atau lapangan, maka di Jakarta ada satu momen yang selalu dinanti yakni panjat pinang di Kalimalang. Tradisi yang telah melekat sejak puluhan tahun ini menjelma menjadi ikon perayaan kemerdekaan di ibu kota, menghadirkan ribuan warga yang rela berdesakan di bantaran sungai hanya untuk menyaksikan keseruan dan simbol perjuangan kolektif itu.

Update: 2025-08-18 07:01 GMT
Warga terjatuh saat mengikuti lomba memanjat pohon pinang di Semarak Kalimalang 2025 Jakarta Timur, Minggu (17/8/2025). Lomba yang diadakan dalam rangka menyambut HUT ke-80 RI diselenggarakan selama dua hari yaitu tanggal 16-17 Agustus 2025 dan diikuti ratusan peserta. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.

Elshinta.com - Jika di banyak tempat perayaan 17 Agustus identik dengan lomba sederhana di halaman rumah atau lapangan, maka di Jakarta ada satu momen yang selalu dinanti yakni panjat pinang di Kalimalang. Tradisi yang telah melekat sejak puluhan tahun ini menjelma menjadi ikon perayaan kemerdekaan di ibu kota, menghadirkan ribuan warga yang rela berdesakan di bantaran sungai hanya untuk menyaksikan keseruan dan simbol perjuangan kolektif itu.

Bukan sekadar lomba, panjat pinang Kalimalang telah menjelma menjadi pesta rakyat khas Jakarta yang tak tergantikan oleh event mana pun. Suasana 17 Agustus 2025 menegaskan reputasi itu. Sejak pagi, bantaran Kalimalang dipenuhi warga lintas usia.

Di antara ragam lomba rakyat, sorak paling riuh pecah ketika giliran panjat pinang berlangsung dengan format khas Kalimalang yang berbeda, bukan memanjat tiang tegak, melainkan meniti batang pinang atau bambu yang dilumuri oli, dibentangkan melintang di atas aliran air.

Setiap ada peserta terpeleset disambut tawa, setiap bangkit lagi dibalas tepuk tangan. Keriuhan ini dirawat oleh warga dan pemuda setempat. Tahun ini rangkaian hajat warga ini turut didukung Rampai Nusantara sebagai penyelenggara kegiatan 17-an, dengan hadiah puncak panjat pinang berupa dua sepeda sumbangan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Namun, inti pesona Kalimalang bukan pada hadiahnya, melainkan pada pengalaman kolektif yang mempertemukan orang asing menjadi sesama, sesama penonton, sesama penyemangat, dan sesama perayap licin di atas air. Semuanya untuk sehari merayakan kebersamaan tanpa sekat.

Ketua Umum Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menggarisbawahi bahwa perayaan HUT RI di Kalimalang adalah tradisi rakyat yang kelestariannya dijaga dari tahun ke tahun. Ia menekankan makna yang sering luput dalam seremoni yaitu semangat persatuan dan gotong royong yang dihidupkan, bukan sekadar dikutip.

Di Kalimalang, nilai itu tampak konkret. Kelompok peserta menyusun strategi, tubuh-tubuh menjadi pijakan, tangan saling mengangkat, dan yang jatuh kembali didorong untuk bangkit. Inilah kurikulum kebangsaan yang diajarkan tanpa papan tulis. Kemerdekaan sebagai hasil kerja bersama, bukan hadiah yang jatuh dari langit.

 

De Klimmast

Agar tradisi ini semakin kaya makna, penting melihat akar sejarahnya. Mayoritas kajian populer dan arsip media menyebut panjat pinang sebagai warisan dari masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, permainan memanjat tiang licin (dalam istilah Belanda sering dirujuk sebagai de klimmast) digelar dalam perayaan tertentu, dengan hadiah yang menggoda di puncak batang pinang, berupa barang-barang mewah bagi ukuran kala itu.

Pada masa itu, panjat pinang mengandung ironi bahwa hadiah mengilap di atas, tapi jarak sosial di bawah. Setelah kemerdekaan, tradisi ini “diindonesiakan” dengan maknanya yang bertransformasi dari tontonan bernada sindiran menjadi perayaan kebersamaan.

Batang licin berubah menjadi metafora jalan terjal bangsa, dengan hadiah di pucuk menandai cita-cita kolektif. Transformasi makna ini menjadikan panjat pinang relevan, bukan sekadar romantika masa lampau, melainkan wadah aktualisasi nilai gotong royong di ruang publik modern.

Kalimalang memberi bab tambahan pada kisah itu. Di sini, panjat pinang bukan sekadar meniru pola vertikal yang umum, melainkan mengembangkan bentuk khas meniti “jembatan” licin di atas air. Kekhasan yang sudah terdokumentasi media sejak beberapa tahun lalu ini lahir dari kreativitas warga Cipinang Melayu dalam memanfaatkan lanskap sungai sebagai panggung.

Tradisi air di Kalimalang juga memperkenalkan variasi lain seperti gebuk bantal. Namun ingat, di sini panjat pinanglah yang lebih tua dan menjadi poros identitas perayaan. Kesaksian tokoh lingkungan menyebut “Semarak Kalimalang” sudah ada sejak era 1930-an. Sempat jeda pada masa perang, dan dihidupkan kembali pada awal 1980-an.

Kronologi lisan ini, meski perlu terus ditopang arsip tertulis, memperkuat kesan bahwa Kalimalang bukan fenomena musiman, melainkan warisan yang diwariskan antar-generasi.

Kekuatan Kalimalang justru terletak pada cara komunitas memelihara tradisi. Tidak ada satu “pencetus” tunggal yang secara kredibel ditahbiskan sebagai penggagas. Tradisi ini lahir dari gotong royong pemuda dan warga, lalu tumbuh bersama dukungan kelurahan, perangkat RW, dan relawan, termasuk koordinasi keselamatan dengan dinas terkait saat pelaksanaan.

Karena itu, setiap tahun Kalimalang terasa baru sekaligus akrab dengan formatnya yang sama; energi sosialnya selalu diperbarui. Di sinilah semua bisa melihat fenomena yang oleh sosiolog Emile Durkheim disebut “gejolak kebersamaan” bahwa momen ketika individu larut dalam emosi kolektif yang meneguhkan solidaritas.

Bagi banyak orang Jakarta yang sehari-hari hidup dalam ritme kota yang terfragmentasi, Kalimalang adalah ruang rekat sosial yang langka.

 

Inklusivitas Tinggi

Keunikan lain Kalimalang adalah inklusivitasnya. Tidak ada tiket mahal, tidak ada pagar sosial. Warga sekitar menyatu dengan pendatang, bahkan wisatawan mancanegara kerap ikut mencoba peruntungan di atas batang licin.

Tradisi ini menjadi magnet tahunan, menyaingi gegap-gempita panggung hiburan modern yang sering eksklusif. Justru karena diakses semua orang, panjat pinang Kalimalang memancarkan rasa kepemilikan yang seakan menyerukan bahwa “ini pesta kami, milik kami, dirayakan bersama”.

Efek rambatnya pun nyata, UMKM lokal hidup oleh arus penonton, pedagang kaki lima kebagian rezeki, dan jejaring sosial warga melebar. Melihat semua itu, wajar bila banyak yang mengusulkan Kalimalang dimasukkan ke dalam kalender budaya resmi Jakarta dan diusulkan sebagai warisan budaya takbenda tingkat kota.

Ini bukan sekadar memberi stempel “prestise”, melainkan memastikan keberlanjutan: penataan ruang bantaran, standar keselamatan, pelibatan komunitas, dokumentasi arsip, dan dukungan logistik lintas instansi. Jika ditata baik, Kalimalang dapat menjadi rujukan nasional untuk festival tradisi berbasis sungai, tanpa kehilangan jiwa rakyatnya.

Pembelajaran dari kota-kota lain menunjukkan, ketika pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pelindung, bukan pengambil alih, tradisi justru tumbuh subur dan berdaya. Puncaknya, panjat pinang Kalimalang mengajarkan cara merayakan kemerdekaan yang mencerahkan dengan memadukan ingatan sejarah, kreativitas lokal, dan keberanian bersolidaritas.

Di atas batang licin itu, kita melihat miniatur republik orang yang kuat merunduk agar yang di atas bisa melangkah, yang jatuh ditarik naik lagi, dan kemenangan dirayakan sebagai milik bersama. Tahun ini, hadiah sepeda dari Wakil Presiden menambah semarak, tetapi hadiah terbesar selalu sama: rasa bahwa kita masih punya ruang untuk menjadi Indonesia yang riang, berani, dan saling menopang.

Mungkin itulah alasan sederhana mengapa panjat pinang Kalimalang selalu ditunggu warga Jakarta, berbeda dengan event lain yang datang dan pergi.  Panjat pinang Kalimalang bukan sekadar menambah daftar hiburan, melainkan menegakkan kembali cermin yang memantulkan siapa kita.

Selama batang pinang itu terus dibentangkan di atas air, selama tawa dan sorak masih bercampur dengan cipratan sungai, selama tangan-tangan itu masih saling mengangkat, Kalimalang akan tetap menjadi kabar gembira yang bisa ditonton setiap 17 Agustus, sebuah janji kecil bahwa kemerdekaan selalu bisa dirayakan bersama.

Tags:    

Similar News