Wisata baru Bali, NTB, dan NTT
Ketika sinar matahari pagi mulai menerobos kabut tipis di atas Bukit Menjangan Barat, Bali, deru motor para wisatawan roda dua yang bersiap menukik ke arah pantai.
Wisatawan menikmati suasana panorama bukit Selong di Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Selasa (1/7/2025). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.
Ketika sinar matahari pagi mulai menerobos kabut tipis di atas Bukit Menjangan Barat, Bali, deru motor para wisatawan roda dua yang bersiap menukik ke arah pantai terdengar seperti simfoni pembangunan yang lama dinanti.
Dari kejauhan, garis pantai yang memantulkan cahaya keemasan seolah menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang menuju timur, melintasi Lombok dengan gili-gilinya yang memikat, melewati Sumbawa yang masih perawan, hingga mencapai Flores yang kaya warna dan budaya.
Jika dilihat dari ketinggian, gugusan pulau Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak seperti pita panjang yang mengikat satu mimpi besar, yaitu membangun superhub pariwisata dan ekonomi kreatif nasional.
Kawasan ini diharapkan bukan hanya menjual keindahan alam, tetapi juga membangun konektivitas, pemerataan ekonomi, dan identitas bersama.
Kesepakatan resmi tiga provinsi, Bali, NTB, dan NTT, pada awal November 2025 menjadi langkah awal dari kolaborasi yang berpotensi mengubah wajah pembangunan di kawasan ini.
Momentum itu bukan hanya seremoni antara gubernur dan pejabat tinggi, melainkan upaya nyata untuk menjahit kembali hubungan antarwilayah yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Namun, di balik pesona pasir putih, gili-gili legendaris, dan kekayaan budaya yang menawan, tersimpan pekerjaan rumah yang berat.
Tantangan infrastruktur yang belum merata, konektivitas udara dan laut yang belum efisien, pengelolaan sumber daya manusia pariwisata yang belum setara, serta ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan menjadi persoalan yang harus dihadapi bersama.
Tanpa perencanaan matang dan kerja lintas provinsi yang nyata, mimpi besar superhub itu berisiko tinggal sebagai wacana indah, seperti bayangan yang perlahan lenyap bersama kabut pagi di Bukit Menjangan.
Tantangan
Pulau Bali selama ini dikenal sebagai destinasi internasional unggulan Indonesia. Namun di era superhub, tantangan utamanya bukan lagi mencari wisatawan tapi mencari ruang baru.
Penataan ruang dan regulasi menjadi masalah utama yang perlu dijawab dengan serius, yaitu bagaimana mengendalikan laju pembangunan yang begitu cepat agar tidak merusak lingkungan dan menggerus budaya lokal.
Bali menghadapi risiko over-pariwisata serta kebutuhan untuk mendiversifikasi jenis wisata agar tetap kompetitif dan berkelanjutan.
Sedangkan NTB memiliki keunggulan alam luar biasa dengan deretan Gili, Gunung Rinjani, serta pantai-pantai indah di Lombok dan Sumbawa.
Namun di balik potensi besar itu, tantangan terbesar yang dihadapi adalah konektivitas udara, laut, dan darat yang belum sepenuhnya terintegrasi.
Karena itu, dalam kerja sama regional, NTB menegaskan bahwa sektor perhubungan akan menjadi prioritas utama untuk diwujudkan bersama.
Wisatawan mancanegara bermain selancar saat berkunjung di Pantai Kuta, Badung, Bali, Selasa (23/9/2025).
Selain itu, SDM dan kesiapan industri kreatif lokal perlu ditingkatkan agar tidak hanya menjadi pengikut destinasi, melainkan penggerak nilai tambah.
Di NTT, seperti yang terangkum dalam wacana superhub, perhatian tidak hanya tertuju pada sektor pariwisata semata, tetapi juga mencakup bidang lain yang sama pentingnya seperti pertanian, ekonomi kreatif, dan keberlanjutan pasok.
Salah satu contohnya dapat dilihat di Labuan Bajo, di mana kebutuhan pokok masyarakat masih banyak bergantung pada pasokan dari luar kawasan.
Keterbatasan infrastruktur dasar serta lemahnya integrasi rantai nilai membuat NTT sulit mengoptimalkan potensi pariwisata sebagai pengungkit ekonomi yang inklusif.
Sinergi
Kerja sama tiga provinsi itu tengah disiapkan melalui kerangka nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama yang akan ditandatangani dalam waktu dekat.
Namun, realisasinya tidak bisa berhenti pada seremonial semata. Diperlukan peta jalan implementasi yang konkret agar semangat kolaborasi benar-benar terwujud di lapangan.
Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah memperkuat konektivitas lintas provinsi. Transportasi udara, laut, dan darat harus terhubung dengan baik agar rute wisata terpadu dapat terbentuk, sekaligus mempermudah mobilitas antar pulau.
Selanjutnya, pengembangan sumber daya manusia dan ekosistem ekonomi kreatif menjadi kunci. Pelatihan lokal yang berkelanjutan, dukungan bagi industri wisata, serta penguatan UMKM yang terintegrasi dengan sektor pariwisata harus menjadi bagian dari prioritas bersama.
Penataan ruang dan keberlanjutan lingkungan juga memegang peran penting. Pemerintah perlu mengatur zona wisata baru dengan regulasi yang efektif dan mekanisme pengelolaan dampak lingkungan yang ketat agar keindahan pulau-pulau kecil tetap terjaga.
Terakhir, integrasi rantai nilai lokal di wilayah seperti NTT menjadi hal mendesak. Ekonomi yang tumbuh dari pariwisata harus mampu menyerap tenaga kerja dari petani, nelayan, dan pelaku kreatif setempat.
Dengan begitu, manfaat ekonomi tidak berhenti di wisatawan semata, tetapi benar-benar menghidupi masyarakat lokal di seluruh kawasan selatan Indonesia.
Superhub
Mewujudkan kawasan Bali, NTB, dan NTT sebagai superhub pariwisata, bukan sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan ujian keseriusan bangsa dalam menata ulang arah pembangunan dari timur.
Sejumlah kapal wisata terparkir di perairan Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (13/4/2025).
Ini bukan pekerjaan sehari, melainkan perjalanan panjang yang menuntut komitmen lintas sektor, mulai dari pemerintah daerah yang berani mengambil keputusan strategis, dunia usaha yang mau berinvestasi dengan visi keberlanjutan, hingga masyarakat lokal yang siap menjadi bagian dari transformasi itu sendiri.
Keberhasilan superhub ini akan menjadi tolok ukur kemampuan Indonesia mengelola kekayaan alam dan budayanya secara beradab dan berdaya saing. Jika kolaborasi tiga provinsi ini berjalan sukses, ia dapat melahirkan generasi muda dengan orientasi global tetapi berpijak pada lokalitas.
Lebih dari itu, proyek ini akan memperkuat rantai ekonomi daerah, memberdayakan pelaku UMKM, serta membuka lapangan kerja yang tidak hanya berbasis jasa wisata, tetapi juga industri kreatif, teknologi, dan konservasi.
Dengan begitu, Bali, NTB, dan NTT tak lagi hanya menjadi latar keindahan dalam brosur pariwisata, melainkan episentrum baru pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, di sisi lain, kegagalan mewujudkan visi ini dapat menjadi beban jangka panjang. Ketidakterpaduan kebijakan antarprovinsi, lemahnya perencanaan infrastruktur, serta kurangnya perhatian terhadap aspek sosial dan lingkungan dapat membuat proyek besar ini berhenti di tataran slogan pembangunan semata.
Ketimpangan antarwilayah bisa melebar, sementara potensi budaya dan alam yang seharusnya menjadi kekuatan justru tergerus oleh eksploitasi yang tak terkendali.
Kawasan ujung timur nusantara ini sejatinya memiliki visi yang melampaui batas “destinasi wisata”. Ia ingin menjadi rumah bersama, tempat bertemunya inovasi dan kearifan lokal, ekonomi dan ekologi, kebanggaan dan keberlanjutan.
Dari Bali yang telah matang dalam tata kelola wisata, NTB yang sedang memantapkan sport tourism dan halal tourism, hingga NTT yang tengah membuka peluang wisata bahari dan budaya dengan karakter kuat, sama-sama memiliki peran penting dalam mewujudkan mimpi kolektif ini.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa?, melainkan apakah kita sungguh mau melangkah bersama?.
Sebab, mewujudkan superhub pariwisata dari ujung timur Indonesia bukan semata soal membangun bandara, pelabuhan, atau jalan raya, tetapi tentang menegakkan visi bersama untuk masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.
Pada titik inilah langkah pertama akan menentukan arah perjalanan. Apakah kita sedang membangun mimpi besar untuk generasi mendatang? atau sekadar mengulangi kebiasaan menunda masa depan.