Eks Kadisbud DKI Jakarta divonis 11 tahun penjara di kasus SPJ fiktif
Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta tahun 2020–2024 Iwan Henry Wardhana dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2025). ANTARA/Agatha Olivia Victoria.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta tahun 2020–2024 Iwan Henry Wardhana divonis pidana penjara selama 11 tahun setelah terbukti menerima uang korupsi sebesar Rp13,53 miliar dalam kasus dugaan korupsi berupa pembuatan surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif.
Hakim Ketua Rios Rahmanto menyatakan Iwan, bersama-sama dengan Kepala Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tahun 2024 Mohamad Fairza Maulana serta pemilik penyelenggara acara (EO) Gerai Production (GR PRO) Gatot Arif Rahmadi, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sehingga merugikan keuangan negara Rp36,32 miliar.
"Terdakwa juga dibebankan pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) pidana kurungan selama 3 bulan," ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis.
Selain itu, Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Iwan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp13,53 miliar subsider 5 tahun penjara.
Dalam persidangan yang sama, terdapat pula Fairza dan Gatot yang mendengarkan pembacaan putusan majelis hakim. Fairza divonis pidana penjara selama 6 tahun; denda Rp500 juta subsider 3 bulan; serta uang pengganti Rp841,5 juta subsider 3 tahun penjara, dengan memperhitungkan penyitaan uang pada penyidikan senilai Rp1,06 miliar.
Sementara Gatot dituntut 8 tahun penjara; denda Rp500 juta subsider 3 bulan; serta uang pengganti Rp13,26 miliar subsider 3 tahun, dengan memperhitungkan aset yang telah disita.
Dengan demikian, Iwan, Fairza, dan Gatot terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Keadaan memberatkan yang dipertimbangkan, yakni perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta telah menikmati hasil tindak pidana yang dilakukan.
Sementara, hal meringankan yang dipertimbangkan meliputi para terdakwa bersikap sopan, kooperatif, dan tidak mempersulit jalannya persidangan, belum pernah dihukum, serta memiliki tanggungan keluarga.
"Dengan mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan, kiranya hukuman yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan," ungkap Hakim Ketua.
Adapun putusan tersebut sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni Iwan sebelumnya dituntut dengan pidana penjara selama 12 tahun, Fairza 7 tahun, dan Gatot 9 tahun.
Begitu pula untuk besaran denda, uang pengganti, dan subsider yang dijatuhkan sedikit lebih ringan, di mana pada awalnya Iwan, Fairza, dan Gatot dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Lalu, ketiganya masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti, yakni Iwan sebesar Rp20,5 miliar subsider 6 tahun penjara; Fairza Rp1,44 miliar subsider 3 tahun dan 6 bulan penjara; serta Gatot Rp13,26 miliar subsider 4 tahun dan 6 bulan penjara.
Dalam kasus tersebut, ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp36,32 miliar. Iwan diduga mengarahkan agar seluruh kegiatan Pergelaran Seni Budaya Berbasis (PSBB) Komunitas diserahkan kepada Gatot.
Hal itu dilakukan dengan kesepakatan bahwa Gatot akan memberikan kontribusi berupa uang untuk diserahkan kepada Iwan.
Selama periode 2022–2024, Gatot, atas dasar penunjukan dari Iwan dan arahan Fairza telah mengelola sekitar 101 acara PSBB Komunitas, 746 PKT, dan tiga Jakarnaval, dengan realisasi pembayaran setelah dipotong pajak sebesar Rp38,66 miliar.
Namun, jumlah pengeluaran sebenarnya hanya sebesar Rp8,19 miliar, sedangkan sisa lebih pembayaran yang disalahgunakan sebesar Rp30,46 miliar.
Selisih pembayaran tidak sah itu diduga digunakan untuk memberikan kontribusi uang kepada Iwan, Fairza, Gatot, serta pihak-pihak lain.