Guru Besar IPB: Sawit perlu dilihat secara adil, bisa jadi solusi ekonomi tanpa abaikan lingkungan

Update: 2025-12-22 09:23 GMT

Guru Besar IPB University (Institut Pertanian Bogor), pakar hutan dan lingkungan Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MSc. Foto : Istimewa

Elshinta Peduli

Guru Besar IPB University (Institut Pertanian Bogor) sekaligus pakar hutan dan lingkungan Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MSc., menegaskan pentingnya melihat isu sawit dan pengelolaan lahan secara jernih, ilmiah, dan tidak emosional. Menurutnya, sawit tidak bisa serta-merta disalahkan atas berbagai persoalan lingkungan, terutama jika dikelola sesuai tata ruang dan kaidah yang berlaku.

Dalam wawancara khusus di Radio Elshinta, Senin (22/12/2025), Prof. Soedarsono menilai, perdebatan publik terkait bencana alam kerap dibumbui emosi berlebihan dan saling menyalahkan, tanpa melihat akar persoalan secara utuh. “Kita tidak akan menyelesaikan masalah dengan emosi. Mari melihat dengan kepala dingin dan secara fair,” ujar Prof. Soedarsono.

Ia menjelaskan, berbagai aktivitas seperti penambangan dan logging memang ada, baik yang legal maupun ilegal. Namun, untuk kegiatan yang legal dan telah mengikuti SOP, tidak semestinya langsung dijadikan kambing hitam. “Kalau sudah sesuai aturan dan SOP, jangan serta-merta disalahkan. Bahkan dalam banyak kasus, perusahaan juga bisa menjadi korban,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa kunci utama pengelolaan lingkungan terletak pada perencanaan tata ruang dan optimalisasi daerah aliran sungai (DAS), dari hulu hingga hilir. Kawasan hulu, menurutnya, memang harus dijaga dengan tutupan vegetasi rapat, sementara wilayah yang lebih datar dan sesuai dapat dimanfaatkan untuk budidaya.

Terkait sawit, ia menegaskan bahwa perkebunan sawit umumnya dikembangkan di lahan datar dan non-hutan, seperti semak belukar atau lahan terdegradasi, bukan di tebing curam atau hutan lindung “Sebagian besar sawit dibangun di lahan semak belukar yang tidak produktif. Penelitian menunjukkan hanya sekitar 5 persen yang berasal dari pembukaan hutan alam,” ungkapnya.

Bahkan, ia mencontohkan wilayah seperti Padang Lawas, yang sebelumnya berupa lahan rusak dan tidak produktif, namun dapat diubah menjadi kawasan perkebunan sawit yang memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dari sisi ekonomi, Prof. Soedarsono menegaskan bahwa sawit memiliki kontribusi nyata terhadap devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.

Elshinta Peduli

“Sawit adalah salah satu penyumbang devisa terbesar nasional dan melibatkan jutaan orang, baik langsung maupun tidak langsung. Ini realita, ada datanya,” tegasnya.

Ia menambahkan, sawit yang dikelola dengan baik mampu memberikan pendapatan sekitar Rp2 juta per hektare per bulan, jauh lebih bermanfaat dibandingkan lahan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomi maupun ekologi. “Kalau dibiarkan jadi semak, ekonominya tidak ada. Dengan sawit, setidaknya ekonominya jalan, dan secara ekologi tidak lebih buruk dibanding semak belukar,” jelasnya.

Prof. Soedarsono juga menegaskan bahwa sawit, seperti halnya karet dan kopi, pada dasarnya merupakan tanaman yang berasal dari hutan dan didomestikasi menjadi tanaman budidaya. “Ketika hujan ekstrem datang, itu alam. Yang paling penting adalah mitigasi, tata ruang yang baik, dan sistem peringatan dini,” ujarnya.

Ia pun mengingatkan pentingnya edukasi publik agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dan menyederhanakan persoalan dengan saling menyalahkan. “Kalau mau cari salah, gampang. Tapi tidak akan menyelesaikan apa-apa. Yang penting adalah memperbaiki tata ruang, mengelola lahan dengan ilmu, dan berpikir rasional,” pungkas Prof. Soedarsono. 

Tags:    
Elshinta Peduli

Similar News